Selasa, 22 Februari 2011

gambar 6

gambar 5

gambar 4

gambar 3

gambar 1

gambar 2


tabel 1

KEGUNAAN ICT

PEMANFAATAN ICT DALAM PEMBELAJARAN
Ace Suryadi (drace@cbn.net.id)
Universitas Krisnadipayana
ABSTRACT
The conventional instruction which is characterized by, for example, seperating schools from
their environments, teachers as the only source of knowledge and quiet learning classrooms
is no more effective and even hampers the development of student’s potentials. The concept
of multiple intelligences and the new finding of human brain’s stratified structure implies a
new alternative of instruction in order to bring schools and the educational system in line with
new era’s up to date demands. The alternative involves the reform of instructional approach
and the information and communication technology (ICT) for education. The school reform
must be taken in the context of the education reform.
Keywords: education reform, ICT, multiple intelligences, school reform.
Sistem pembelajaran konvensional di sekolah kian diyakini sebagai sistem yang tidak efektif lagi. Konsep-konsep kemampuan otak, kecerdasan, dan kreativitas telah berkembang pesat dan makin menguatkan argumentasi yang ingin mengoreksi kelemahan sistem pembelajaran konvensional. Sistem pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri antara lain kelas yang tertutup di sekolah yang juga tertutup dari lingkungan sekitarnya; setting ruangan yang statis dan sangat formal; guru menjadi satu-satunya sumber ilmu dan pengetahuan bagi siswa dan mengajar secara linier; menggunakan papan tulis sebagai sarana utama dalam proses transfer of knowledge; mengupayakan situasi dan kondisi belajar yang hening untuk mendapatkan konsentrasi belajar yang maksimal; menggunakan buku wajib yang cenderung menjadi satu-satunya referensi yang sah di kelas; serta model ujian dengan soal-soal pilihan ganda (multiple choices) yang hasilnya menjadi ukuran kemampuan siswa. Semua aspek dalam proses pembelajaran itu kini dinilai mengandung banyak kelemahan yang bahkan secara agregatif menjadi kontraproduktif terhadap pengembangan diri dan intelektual siswa. Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences), yang dikemukakan oleh Howard Gardner pada 1983 (dalam Armstrong, 2004), dipandang sebagai konsep pendekatan pembelajaran yang lebih objektif dalam menggali atau mengembangkan kemampuan setiap individu siswa sesuai dengan potensi atau kecerdasan orisinalnya. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan orisinal (bakat) setiap individu itu berbeda-beda, yang dikelompokkannya ke dalam 8 jenis kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal, intrapersonal, interpersonal, dan naturalis. Oleh karena itu, menyeragamkan cara pembelajaran dengan satu pendekatan yang monoton dan statis—seperti dalam cara-cara belajar konvensional—tidak memberikan kondisi yang terbaik (optimum) untuk mengembangkan kemampuan semua siswa. Pendekatan kecerdasan majemuk dapat digunakan pada dua aspek, yaitu aspek metode pembelajaran dan aspek materi pembelajaran. Pada aspek metode, pendekatan yang dimaksud memungkinkan berkembangnya variasi cara belajar, yang pada akhirnya menciptakan kondisi belajar terbaik (optimum) bagi semua siswa. Sementara itu, pada aspek materi, pendekatan tersebut memperkaya materi pembelajaran yang akan mengembangkan kemampuan siswa seturut dengan potensi kecerdasan mereka masing-masing. Selama ini, fokus pendidikan umumnya sangat tertuju pada aspek kecerdasan linguistik atau kecerdasan matematis-logis semata, sehingga anak yang dianggap pandai atau pintar adalah yang memiliki nilai tinggi pada ilmu-ilmu hitung dan pasti, misalnya matematika, ilmu falak, kimia, atau fisika. Padahal, kemampuan-kemampuan lainnya juga penting, seperti kemampuan berkomunikasi bersosialisasi dan bergaul (kecerdasan interpersonal); mengasah intuisi, imajinasi dan angan-angan (kecerdasan spasial); mendorong tumbuhnya nilai-nilai kebanggaan, motivasi, idealisme dan integritas (kecerdasan intrapersonal); mencintai alam dan lingkungan (kecerdasan naturalis); aktif, cekatan, sehat dan enerjik (kecerdasan kinestetis-jasmani); mencintai dunia seni dan budaya (kecerdasan musikal). Saat ini, teori kecerdasan majemuk sudah mulai diaplikasikan dalam proyek-proyek pembaruan sekolah di beberapa negara. Di dunia persekolahan Indonesia sekarang galibnya dikenal terminologi-terminologi ‘belajar sambil bermain’, edutainment, belajar dengan alam, dan sebagainya, yang pada hakikatnya ingin menerapkan pendekatan kecerdasan majemuk tadi. Selaras dengan perkembangan berbagai teori dan konsep kecerdasan, berkembang pula pengetahuan mengenai faal dan kapasitas otak manusia. Pengetahuan mengenai otak manusia ini menjadi landasan berpikir bagi pengembangan berbagai teori/konsep kecerdasan. Misalnya, otak manusia diketahui terdiri dari otak kanan dan otak kiri, yang masing-masing memiliki penekanan fungsi yang berbeda. Otak sisi kiri bekerja antara lain untuk fungsi-fungsi berpikir logis/rasional (matematika), berbahasa (kata-kata), keteraturan (urutan), sedangkan otak sisi kanan untuk fungsifungsi visual (gambar), seni, irama, imajinasi, intuisi, berpikir acak (tidak teratur). Celakanya, ada kecenderungan bahwa praktik pendidikan di sekolah pada umumnya lebih menekankan pada pengembangan otak kiri. Padahal, otak kanan tidak kalah pentingnya, karena sangat berhubungan dengan pengembangan kreativitas (Buzan, 2003).
Pengetahuan lain yang juga penting mengenai otak ialah bahwa struktur otak manusia ternyata bertingkat-tingkat, mulai batang otak (otak reptil) di bagian bawah, otak mamalia di bagian tengah, sampai korteks di bagian atas (Buzan, 2003). Otak reptil berperan mengendalikan fungsi-fungsi naluriah tubuh, semisal bernapas dan bertahan (self-defense). Otak mamalia bekerja mengendalikan emosi dan memori. Korteks mengendalikan fungsi berpikir, bernalar, mendengar, dan mencipta. Jika situasi dan kondisi belajarnya tegang (stress), kita akan sulit berpikir (berkonsentrasi) karena situasi dan kondisi itu membuat otak reptil bekerja lebih dominan. Sementara itu, bila situasi dan kondisi belajarnya rileks, tenang dan menyenangkan, kita akan lebih mudah berpikir, karena otak reptil tidak bekerja sehingga situasi dan kondisi itu kondusif bagi bekerjanya korteks. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa sekolah yang umumnya lebih banyak menciptakan situasi dan kondisi yang tegang melalui formalitas dan tata aturan yang kaku dan keras itu kurang kondusif bagi proses pembelajaran.
Dryden dan Vos (2003), mengulas banyak hasil penelitian tentang otak dan kecerdasan yang dilakukan oleh para ahli seperti Ronald Kotulak (Inside the Brain), Tony Buzan (Make the Most of Your Mind), Robert Ornstein (The Amazing Brain), Howard Gardner (Frames of Mind), Marian Cleeves Diamond (Enriching Heredity). Hasil-hasil penelitian mereka makin membuka cakrawala pandang tentang perlunya penanganan pendidikan yang lebih kreatif dibandingkan dengan yang sekarang diberlakukan di sekolah-sekolah konvensional. Pendidikan yang lebih kreatif dimaksudkan untuk memberikan rangsangan-rangsangan berpikir yang lebih dinamis guna membangun koneksi- koneksi sel otak aktif (neuron). Koneksi-koneksi itu (disebut juga koneksi belajar atau sinapsis) akan
membentuk kemampuan berpikir manusia sehingga makin banyak koneksi yang dapat dibangun makin tinggi kemampuan berpikir (makin cerdas, makin kreatif). Koneksi-koneksi terjadi bila kita menggunakan dan melatih otak kita, yaitu manakala kita dapat menciptakan arti pada apa yang kita pelajari atau kita pikirkan (Gunawan, 2007). Dengan 100 milyar sel aktif (otak manusia) dan 20.000 kemungkinan kombinasi koneksi per selnya, dapat kita bayangkan betapa besar potensi (kapasitas berpikir) otak kita. Guru besar Universitas Stanford, Robert Ornstein, mengatakan jumlah koneksi itu diperkirakan lebih banyak daripada jumlah atom di jagad raya ini (Dryden & Vos, 2003). Sekarang, kita baru menggunakan sebagian kecil dari kapasitas itu (di bawah 10%). Tony Buzan, seorang pakar ternama di bidang memori dan kecerdasan, menyatakan bahwa untuk dapat memanfaatkan kapasitas otak kita itu, kita harus memahami dulu bagaimana cara otak bekerja (Dryden & Vos, 2003). Langkah ini dapat dimulai dengan mempelajari struktur dan komponen otak, cara kerja memori, cara konsentrasi bekerja, cara kerja proses berpikir kreatif. Kegiatan ini merupakan bagian dari usaha untuk mengeksplorasi diri supaya kita lebih mengenal diri kita sendiri dan mengetahui potensi kita, kelemahan dan kekuatannya, dalam rangka mendapatkan cara-cara atau strategi-strategi belajar yang paling optimum bagi diri kita. Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir adalah dua ‘mata pelajaran’ yang harus menjadi inti persekolahan dan juga mesti diintegrasikan ke dalam seluruh pelajaran sekolah.
Konsep-konsep dan teori-teori mutakhir mengenai otak dan kecerdasan tersebut memperkaya pemikiran kita dan sangat bermanfaat untuk memperbarui system pembelajaran atau mencari model persekolahan terbaik di masa depan. Kurikulum atau strategi pembelajaran sendiri sudah mulai berkembang sejak zaman Eropa kuno (Dryden & Vos, 2003). Dryden dan Vos mengelompokkan kurikulum jadi empat mazhab, yaitu esensialisme, ensiklopedisme, model pendidikan yang menghubungkan indera dengan pembelajaran, dan apa yang disebut sebagai kurikulum pragmatis. Sebagai alternatif dari keempat mazhab itu, timbullah sebuah mazhab yang hendak mengombinasikan unsur-unsur terbaik dari keempatnya. Diyakini bahwa dengan memadukan sistem-sistem terbaik yang telah terbukti berhasil itu, kita akan mampu menghasilkan lulusan sekolah yang mampu membaca; menulis; memahami matematika, sejarah, geografi, fisika, musik; dan juga memiliki kemampuan bertindak, belajar, berpikir dan mengelola kehidupan untuk masa depan secara mandiri. Kemampuan yang disebut terakhir sangat dibutuhkan mengingat perubahan dalam kehidupan masyarakat berlangsung secara terus-menerus, sangat dinamis dan cepat.

Perubahan yang cepat pada masa sekarang ini disebabkan terutama oleh kemajuan teknologi. Teknologi dapat dianggap sebagai katalis perubahan, yakni membuat perubahan jadi revolusioner, sangat cepat dan intensif. Dalam dunia pendidikan dan pengetahuan, revolusi ini sedang berlangsung dan berdimensi ganda, yaitu menghubungkan penelitian otak modern yang mengagumkan dengan kekuatan informasi dan pengetahuan yang dapat diakses secara cepat dan mudah melalui teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology,ICT).
Revolusi gabungan internet-komputer-World Wide Web (www) telah membentuk enerasi baru dengan nilai-nilai baru, gaya pergaulan baru, budaya baru, bahkan ekonomi baru yang disebut sebagai ekonomi digital. Komunikasi dan akses informasi menjadi serba instan, cepat dan mudah, sehingga aktivitas-aktivitas seperti perdagangan dan pendidikan dapat dilakukan secara bersamaan dengan sebuah komputer pribadi. Revolusi digital memicu munculnya pemikiran ulang tentang metode belajar dan mengajar. ”Sistem pendidikan tradisional telah usang”, demikian penilaian Arthur Andersen, sebuah grup konsultan raksasa Amerika. Dryden dan Vos (2003) juga mengutip pendapat Peter F. Drucker, pakar manajemen terkemuka, bahwa bangsa yang benar-benar memanfaatkan ledakan komunikasi digital, dan menghubungkannya dengan teknik-teknik pembelajaran baru, niscaya akan memimpin dunia di bidang pendidikan. Singapura merupakan contoh negara yang cepat bereaksi dan berkomitmen melalui program dan anggaran—untuk membangun jaringan elektronik yang menghubungkan masyarakat umum, pemerintah, dunia bisnis, dan sekolah. Dryden dan Vos (2003) mengimbuhkan bahwa pada awal 1997 negara ini menganggarkan rencana induknya (berjangka lima tahun) sebesar hampir 1,5 milyar dolar Amerika untuk menerapkan teknologi informasi interaktif terbaik di dunia pada system persekolahannya. Singapura mungkin menjadi negara terdepan dalam menghubungkan pendidikan industri internasional berteknologi tinggi, dan dunia kerja.

REFORMASI PEMBELAJARAN
Berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang sistem pendidikan atau model pembelajaran yang terbaik untuk masa depan—yang didahului dengan berkembangnya teori dan pengetahuan mengenai otak dan kecerdasan manusia—pada dasarnya merupakan dinamika dari obsesi untuk menggelar reformasi pembelajaran (school reform). Amerika Serikat, sebagai sebuah negara yang sering dijadikan ukuran dalam kemajuan di berbagai bidang, sudah mulai merasakan kebutuhan akan school reform, bahkan education reform, sejak akhir 1980-an. Saat itu, masyarakat Amerika menganggap sistem pendidikan yang tengah berlaku tidak mampu lagi mengikuti kemajuan bidangbidang lainnya, khususnya dunia kerja (bisnis) (Means, 1993). Standar-standar pendidikan sudah mengalami erosi dan mengancam masa depan negara Amerika dan warganya. Pernyataan Smith dan O'Day (dalam Means, 1993) tentang perlunya perubahan fundamental dan komprehensif dalam sistem pendidikan adalah respons terhadap tuntutan masyarakat Amerika untuk memperbarui pendidikan mereka. Keinginan untuk melakukan perubahan fundamental dan inovasi sebagai upaya reformasi pendidikan didukung oleh banyak pihak yang berkepentingan (stake holders) seperti para gubernur dan legislator, koalisi-koalisi bisnis, dan juga para pendidik termasuk asosiasi guru, lembaga-lembaga pendidikan, dan para administrator sekolah. Selanjutnya, merebaklah perdebatan serius di antara para pendidik, penentu kebijakan, dan warga negara, mengenai bentuk reformasi struktural yang paling ideal. Dari teori-teori yang berkembang dan praktik-praktik di berbagai negara, dan dalam rangka melaksanakan gerakan pembaruan pendidikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua aspek pembaruan yang penting, sebagai berikut:

1. Pembaruan pendekatan pembelajaran, yang menyangkut esensi, materi dan metode pembelajaran.
Pembaruan ini dilantari oleh berbagai temuan/teori/konsep baru yang berkembang mengenai otak dan kecerdasan, dan dipicu oleh perubahan multidimensional dalam lingkungan hidup dan kehidupan yang menuntut komitmen dan kemampuan manusia (SDM) yang makin tinggi,
2. Pemanfaatan teknologi informasi/komunikasi yang sudah sedemikian canggih untuk menunjang keberhasilan pembaruan strategi dan teknik pembelajaran.
Kedua aspek pembaruan tersebut menyatu dalam semangat dan misi untuk melakukan reformasi pembelajaran (school reform), bahkan reformasi pendidikan (education reform). Reformasi ini niscaya melibatkan aspek-aspek yang lebih luas, seperti pembaruan kelembagaan, peraturan/legislasi, manajemen, pembiayaan, dan sumber daya manusia. Semua ini hanya dapat dilakukan dengan landasan komitmen politik (political will) negara untuk memajukan pendidikan.

PEMBARUAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Dryden dan Vos (2003) menyimpulkan dari hasil penelitian dan observasi mereka di seluruh dunia bahwa dalam setiap sistem pendidikan yang terbukti berhasil, citra diri ternyata lebih penting dari pada materi pelajaran. Tolok ukur sesungguhnya dari sistem pendidikan masa depan, dengan demikian, adalah seberapa besar mampu membangkitkan gairah belajar secara menyenangkan. Hanya dengan pendekatan inilah, setiap siswa akan terdorong untuk membangun citra diri positif yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Menurut Dryden dan Vos, kurikulum pendidikan sebaiknya disusun dalam empat tingkat, dan keempatnya saling mendukung dan melengkapi, sebagai berikut.
1. Citra diri dan perkembangan pribadi
2. Pelatihan keterampilan hidup
3. Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir
4. Kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifi

Gunawan (2007), yang menggunakan istilah konsep diri (self-concept) untuk istilah citra diri, mengulas pentingnya sikap mental tersebut dalam menunjang keberhasilan belajar. Konsep diri ini sebenarnya menjelaskan bahwa seseorang harus memiliki ukuran/potret diri, kepercayaan diri, dan harga diri yang tinggi. Ia harus memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu meraih keberhasilan. Celakanya, konsep diri ini kurang diperhatikan oleh sekolah dan lingkungan keluarga. Biro konseling yang ada di tiap sekolah cenderung bersikap pasif dan kurang efektif. Bahkan praktik pendidikan itu sendiri, baik di sekolah, di masyarakat, maupun di rumah, cenderung menumbuhkan sikap mental negatif. Predikat anak pandai dan anak bodoh yang diukur sekadar berdasarkan nilai nilai mata pelajaran melahirkan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan citra diri/konsep diri. Salah satu cara yang sangat baik untuk mengatasi masalah ini adalah menerapkan teori kecerdasan majemuk dalam praktik pendidikan (Gardner, 1983). Teori kecerdasan majemuk mengakui dan menghargai keberagaman potensi kecerdasan setiap anak, dan memberi kesempatan untuk mengembangkan potensi tersebut secara maksimal. Selanjutnya, akan dibahas kurikulum empat tingkat usulan Dryden dan Vos (2003). Pertama citra diri harus dikembangkan dalam perspektif peran dan fungsi manusia sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu mandiri dan makhluk sosial, serta sebagai unsur produksi. Sebagai makhluk Tuhan, manusia mesti selalu bertindak dan mengerjakan sesuatu atas nama keimanannya dan, konsekuensinya, dengan motif ibadah. Sebagai individu, ia harus dapat mengenali diri, menemukan jati diri, memahami kelemahan dan kekurangannya, dalam rangka membangun karakter dan mengembangkan potensi diri untuk berkarya. Sebagai makhluk sosial, ia harus memahami nilai-nilai sosial, dan senantiasa termotivasi untuk berkarya dalam konteks kebersamaan sosial. Sebagai unsure produksi, ia selalu tergerak untuk berprestasi secara produktif, kreatif, inovatif, dan ekonomis. Proses membangun citra diri/konsep diri yang melibatkan perspektif-perspektif itu, apabila berhasil, akan mampu membuat dirinya jadi manusia yang disebut oleh Covey (1994) sebagai manusia efektif (effective people). Substansi pendidikan harus mengintegrasikan esensi, materi dan metode pendidikan yang mengarah pada pengembangan citra diri dan pribadi agar menjadi manusia efektif. Alhasil, efektivitas pendidikan dapat diukur antara lain dari pencapaian proses pembelajaran hingga ke tingkat pemahaman, kesadaran, dan penghayatan siswa atas citra diri dan perilaku positif. Inilah tantangan reformasi pendidikan yang pertama dan utama. Kedua, keterampilan hidup yang secara sempit diartikan sebagai keterampilan praktis yang berkaitan dengan dunia kerja (kecakapan vokasional), dan secara luas sebagai kecakapan hidup (life skills). Dalam buku pedoman pendidikan kecakapan hidup Departemen Pendidikan Nasional (2003),

kecakapan hidup didefinisikan sebagai seperangkat kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani menghadapi permasalahan hidup dan kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan; kemudian secara mandiri, proaktif, dan kreatif mencari dan menemukan jalan keluar atau solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi permasalahan hidup dan kehidupan. Kecakapan hidup dikelompokkan jadi dua, yaitu kecakapan hidup generik dan kecakapan hidup spesifik. Kecakapan hidup generik dibagi jadi kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan hidup spesifik diperinci jadi kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Walaupun pendidikan umum (SD, SMP, SMA) lebih mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (lebih menitikberatkan pada kecakapan akademik), kecakapan vokasional tetap dapat diberikan sesuai dengan minat siswa dan kondisi setempat, untuk mengantisipasi siswa yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, dan ingin langsung bekerja. Ketiga, belajar tentang cara belajar dan cara berpikir. Keduanya termasuk hal yang paling mendasar harus diberikan kepada anak didik. Tujuan dari belajar tentang cara belajar dan berpikir adalah memahami berbagai pengetahuan perihal otak dan kecerdasan, serta teknik-teknik untuk melatih kemampuan berpikir efektif. Aneka nama dari teknik tersebut telah diperkenalkan di dunia pendidikan, seperti accelerated learning (belajar cepat), super learning, suggestopedia, whole-brain learning, dan integrated learning. Nama-nama ini umumnya berkarakter sama, yaitu mendorong anak-anak untuk memanfaatkan seluruh ‘kecerdasan’ dan indera mereka untuk belajar dengan lebih baik, melalui musik, irama, rima, gambar, perasaan, emosi, dan tindakan (Dryden & Vos, 2003). Selain itu, telah diperkenalkan pula metode-metode melatih keterampilan berpikir oleh sejumlah pakar antara lain: Lateral Thinking (Edward de Bono), Brainstorming (Alex Osborn), Creative Problem Solving (Donald Treffinger), Technology for Creating (Robert Fritz), Higher Order Thinking Skills/HOTS (Stanley Pogrow), Superbrain (Dilip Mukerjea), dan Talents Unlimited (Calvin Taylor).

Metode-metode tersebut jamaknya sederhana, menyenangkan, dan efektif. Jika pengembangan citra diri, kecakapan hidup, dan cara belajar/berpikir lebih menekankan pada aspek-aspek fundamental dari seorang anak didik (aspek esensi dan metode), tingkat keempat (yaitu mengembangkan kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik) lebih menekankan pada aspek materi pembelajaran yang bersifat praktis untuk menguasai keahlian tertentu. Ide-ide tentang pembaruan pembelajaran, yang juga disertai dengan praktik-praktik eksperimen atau pelaksanaannya di beberapa negara, pada intinya bermuara pada sebuah semangat bersama dan common sense untuk melakukan reformasi pembelajaran. Hasil reformasi akhirnya harus dapat dilihat pada apa yang telah dicapai oleh anak didik dalam kerangka peningkatan kemampuan belajar untuk menguasai kecakapan/keahlian yang lebih tinggi, peningkatan motivasi dan konsep diri (self-concept). Beberapa pemikiran yang menonjol tentang reformasi pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 1. Means (1993) menyatakan bahwa katalis untuk transformasi pembelajaran ialah pemusatan berbagai aspek pembelajaran di sekitar tugas-tugas autentik yang menantang. Tugas-tugas autentik menggantikan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan subjek individual atau suatu kecakapan diskrit, yang tidak memiliki hubungan jelas dengan dunia nyata dimana anak-anak beraktivitas di luar sekolah.

Table

Gambar 1



Dalam Gambar 1 aktivitas-aktivitas pembelajaran dan fungsi-fungsi yang merupakan strategi atau metode efektif berpusat atau berorientasi pada tugas-tugas autentik yang menantang. Tugas autentik (authentic tasks) adalah tugas-tugas yang diberikan kepada siswa dalam bentuk proyek, yang bisa berupa pengkajian, penelitian, atau penyelesaian masalah, yang cenderung kompleks dan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Sebagai ilustrasi, apabila siswa diberikan tugas untuk menjelaskan fenomena iklim (sebutlah ‘proyek iklim’), aktivitas-aktivitas yang mungkin akan dilakukan siswa adalah sebagai berikut.
1. Mencari referensi atau sumber pengetahuan yang berkaitan dengan iklim (melakukan eksplorasi). Ia akan mengulik berbagai dimensi/aspek yang berkaitan dengan iklim, seperti wilayah geografi, dimensi waktu, implikasi lingkungan (biologis dan fisik), pengaruh atau intervensi manusia (aspek sosial), kalkulasi dan aspek kuantitatif (matematika). Jadi, ia akan masuk ke dalam frame-work pemikiran dan pendekatan yang multidisiplin. Siswa juga dapat terjun ke lapangan untuk mengamati dan mendata.

2. Membuat gambar, sketsa, mapping, matriks, catatan-catatan, dan seterusnya untuk memformulasikan pemikirannya dan mengonstruksinya jadi sebuah ide atau materi yang akan disampaikannya dalam penjelasan. Di sini ia tidak saja mencoba melakukan pendataan (pencatatan) dan analisis, tetapi juga melatih menggunakan suatu media atau alat bantu belajar/bekerja (misalnya komputer dan aplikasi-aplikasinya). Ini merupakan proses menempa kecakapan akademik dan keterampilan-ketrampilan teknis yang relevan.
3. Berdiskusi, berdebat, bertanya, bertukar pikiran, dan membagi pekerjaan dalam sebuah tim belajar atau kerja. Ini disebut proses belajar kolaboratif yang sangat ideal dan menyenangkan untuk dikerjakan. Dalam tim itu, akan diakomodasi berbagai tingkat kemampuan dan kapasitas individual siswa, karena pembagian tugas akan otomatis diatur selaras dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing anggota. Inilah mekanisme kerja kelompok yang mengakomodasi heterogenitas.

4. Dalam melakukan tugasnya itu, siswa dapat tetap melakukan komunikasi dengan gurunya, dalam rangka bertanya, minta tanggapan atau informasi, atau berbagai hal yang berkaitan dengan peran guru sebagai fasilitator.

5. Guru juga dapat mengamati dan menilai proses dan dinamika kerja para siswa, dari perencanaan hingga penyampaian hasilnya. Ini bagian dari proses penilaian atau evaluasi berbasis kinerja (performance-based assessment).

6. Aktivitas-aktivitas yang pada dasarnya merupakan proyek kerja siswa itu hanya dapat dilakukan dalam suatu periode waktu tertentu yang ekstensif tetapi terjadwal/terprogram (extended blocks of time). Aktivitas-aktivitas ini tidak mungkin dilakukan dalam blok-blok waktu yang ketat dengan jadwal belajar yang konvensional. Proses serangkaian aktivitas siswa itu merupakan contoh aplikasi dari model dalam

Gambar 1. Proses belajar semacam itu merupakan proses belajar ideal dan sangat kondusif dalam membawa setiap siswa pada penguasaan kemampuan akademik sekaligus pencapaian motivasi dan konsep diri (self-concept) yang efektif, sebuah hasil yang ingin dicapai dari reformasi pembelajaran (Becker, 1994).


PEMANFAATAN TEKNOLOGI
Seperti telah dibahas, pembaruan pendidikan sudah dilaksanakan di banyak negara. Pembaruan itu selalu melibatkan pemanfaatan teknologi yang menjadi bagian integral dari pembaruan pembelajaran. Berikut ini adalah contoh komitmen dari dua negara di Asia dan Amerika Serikat yang mempersiapkan teknologi informasi sebagai bagian dari proses pembelajaran modern. Contoh ini dikutip dari buku yang ditulis oleh Dryden dan Vos (2003) dan laporan riset yang ditulis oleh Reeves (1998):


Gambar 2 (AMERIKA CINA DAN SINGAPURA)


Means (1993) dalam laporan penelitian mereka menerangkan bahwa kebutuhan masyarakat persekolahan untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran merupakan bagian dari reformasi pembelajaran. Kebutuhan untuk memanfaatkan teknologi itu mula-mula dipengaruhi oleh fakta-fakta yang terjadi di komunitas luar sekolah (bisnis, pemerintahan, dan masyarakat umum) yang sudah lazim menggunakan teknologi dalam aktivitas berkomunikasi, mencari informasi, dan aktivitas komersial. Fakta itu menjadi seperti sebuah tekanan terhadap komunitas sekolah untuk juga menggunakan teknologi agar para siswa familier dengan teknologi. Pada perkembangan selanjutnya karena pengaruh kemajuan aplikasi teknologi yang makin canggih, teknologi menjadi suatu media dan alat yang dipandang sangat penting dan strategis untuk menunjang pencapaian tujuan reformasi pembelajaran. Inti dari proses reformasi pembelajaran berkisar pada pemusatan berbagai aspek pembelajaran pada tugas-tugas autentik, untuk menggantikan pembelajaran subject oriented yang monoton, statis, dan tertutup dalam pembelajaran konvensional (lihat Tabel 1 dan Gambar 1). Tugas autentik biasanya cenderung kompleks dan menantang karena berupa proyek untuk merampungkan suatu kasus atau penyelesaian masalah dengan menggunakan pendekatan multidisiplin (lihat definisi di depan). Contoh tugas autentik sudah diilustrasikan cukup jelas dengan ‘proyek iklim’. Teknologi informasi dan komunikasi mutakhir yang telah berkembang sejauh ini sudah sangat memadai untuk dapat memfasilitasi, membekali, memudahkan beragam pekerjaan siswa seperti dalam proyek tersebut. Berbagai macam pekerjaan, seperti eksplorasi, pencatatan, pendataan, penghitungan atau pengolahan data, analisis, penggambaran, visualisasi, dan pengemasan dalam format akhir laporan, dapat dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi ensiklopedia (interactive CD-ROM, multimedia), world-wide-web, pengolah kata, spreadsheet, graphic design, presentation tools, dan sebagainya. Sementara interaksi dalam bertukar pikiran antarsiswa dan antara siswa dan guru, atau wawancara dengan nara sumber, searching, dan lain-lain, dapat dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi networking seperti e-mail, world-wideweb, chat, voicemail, dan tele-conference. Menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran niscaya mempunyai kelebihan, yakni mempermudah dan mempercepat kerja siswa (mengefisienkan), juga menyenangkan karena siswa berinteraksi dengan warna-warna, gambar, suara, video, dan sesuatu yang instan. Situasi dan kondisi yang menyenangkan ini sebenarnya menjadi faktor yang sangat penting dan esensial untuk mencapai efektivitas belajar. Di sini teknologi mampu membangkitkan emosi positif dalam proses belajar. Gunawan (2007) menulis, dengan mengutip hasil temuan para ahli mengenai hubungan antara gelombang otak dan emosi dengan proses menyerap informasi, bahwa frekuensi gelombang otak berbeda-beda pada setiap kondisi, misalnya pada saat tidur, setengah tidur, rileks, serius dan tegang. Para peneliti yakin bahwa kondisi otak yang rileks tetapi waspada adalah kondisi yang terbaik bagi otak untuk menyerap informasi dengan cepat dan efektif. Ukuran gelombang otak pada kondisi itu, yang disebut kondisi alfa, adalah 8-12 Hz (optimum 10,5 Hz). Temuan ini menjelaskan bahwa situasi dan kondisi yang menyenangkan pada saat belajar dapat membuat otak rileks tetapi waspada. Para ahli juga menyebut kondisi seperti itu sebagai kondisi tempat emosi positif timbul. Timbulnya emosi positif akan meningkatkan perhatian dan konsentrasi otak, sehingga informasi mudah diserap. Sebaliknya, proses belajar jangan sampai terjadi pada kondisi emosi negatif. Contoh emosi negatif adalah rasa sedih atau tegang (stress). Sistem sekolah atau pendidikan konvensional pada umumnya cenderung menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan emosi negative timbul ketimbang emosi positif. Selain membantu menciptakan kondisi belajar yang kondusif bagi mental siswa, peran penting kedua dari teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran adalah menyediakan seperangkat media dan alat (tools) untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan siswa, serta tentu saja memberi keterampilan penggunaan teknologi tinggi (advanced skills). Menurut Reeves (1998), untuk kepentingan pembelajaran di sekolah, terdapat dua pendekatan pokok dalam penggunaan teknologi, yaitu para siswa dapat belajar ‘dari’ dan ‘dengan’ teknologi. Belajar ‘dari’ teknologi dilakukan seperti dalam penggunaan computer-based instruction (tutorial) atau integrated learning systems. Belajar ‘dengan’ teknologi adalah menggunakan teknologi sebagai cognitive tools (alat bantu pembelajaran kognitif) dan menggunakan teknologi dalam lingkungan pembelajaran konstruktivis (constructivist learning environments). Reeves (1998) memilah kedua pendekatan penggunaan teknologi itu untuk mengkaji signifikansi manfaat dari keduanya terhadap proses pembelajaran. Sekolah-sekolah yang menjadi objek kajian adalah public schools K-12 (TK-SMA). Hasil penelitian dengan kedua pendekatan itu diringkas sebagai berikut.



GAMBAR 3
GAMBAR 4


Reeves (1998) juga memaparkan hasil investigasi 10 tahun oleh proyek Apple Classrooms of Tomorrow (ACOT), dan menyimpulkan bahwa inovasi-inovasi pedagogis dan hasil-hasil positif pembelajaran dapat diperoleh dengan penerapan teknologi (ICT) di sekolah. Dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam proses pembelajaran, para ahli meneliti dan mengembangkan berbagai model. Gambar 2 adalah model yang dikemukakan oleh Woodbridge (2004) dan dimodifikasi/dikembangkan lebih lanjut oleh penulis. Beberapa catatan penting dari model tersebut adalah sebagai berikut.

1. Teknologi (ICT) berperan pada tiga fungsi: pertama, menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dan mengasyikan (efek emosi); kedua, membekali kecakapan siswa untuk menggunakan teknologi tinggi. Ini menjawab tantangan relevansinya dengan dunia di luar sekolah. Ketiga, teknologi berfungsi sebagai learning tools dengan program-program aplikasi dan utilitas, yang, selain mempermudah dan mempercepat pekerjaan, juga memperbanyak variasi dan teknik-teknik analisis dan interpretasi.

2. Emosi positif, keterampilan menggunakan teknologi, dan kecakapan dalam memanfaatkan program-program dan utilitas itu merupakan bekal dan conditioning yang positif bagi pengembangan kemampuan intelektual siswa melalui:
a. pengembangan kemampuan mencipta, memanipulasi, dan belajar
b. berlatih dengan tugas-tugas yang berbasis penyelesaian masalah
c. membangun lingkungan belajar konstruktivis



GAMBAR 5






REFORMASI PENDIDIKAN
Dunia pendidikan harus melakukan modernisasi dengan melakukan inovasi-inovasi yang memang relevan untuk menghadapi tantangan masa depan. Di masa mendatang, kita menghadapi dinamika perubahan yang makin cepat, intensif, dan kompleks; munculnya berbagai masalah yang makin serius akibat kerusakan lingkungan hidup, eksploitasi sumber daya alam, ketimpangan kemakmuran, ketidakadilan, agresi politik, kompetisi. Semua masalah ini membutuhkan pemikiran dan tindakan yang makin cerdas, kreatif, kritis, dan bijaksana. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan yang baik, yaitu yang dapat menghasilkan manusia-manusia yang tidak saja mampu berpikir dan bertindak responsif, tetapi juga antisipatif dan proaktif terhadap perubahan.

GAMBAR 6

Reformasi pembelajaran pada hakikatnya ingin memperbaiki cara-cara belajar di sekolah atau di mana pun agar anak-anak didik kita lebih cerdas, kreatif, kritis, dan bijaksana dalam berpikir dan bertindak, daripada anak-anak didik yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah konvensional. Dengan reformasi ini, kita berharap anak-anak didik kita lebih mampu mengenali diri mereka, menumbuhkan karakter dan pribadi mereka secara mandiri (self concept), dan mengembangkan kemampuan intelektualnya dalam konteks kekinian yang dinamis dan progresif, sehingga mereka sanggup survive, bahkan leading dalam persaingan. Ada dua elemen reformasi pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran, yakni pembaruan pendekatan pembelajaran dan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran. Namun, reformasi pembelajaran tampaknya hanya efektif bila dilakukan dalam kerangka reformasi pendidikan. Artinya, reformasi pembelajaran membutuhkan upaya yang lebih sistematis dan melibatkan struktur yang lebih luas. Kita tidak dapat hanya memberikan perlakuan (treatment) pembaruan pada tingkat pembelajaran siswa di kelas dengan kurikulum baru atau teknologi canggih (Means, 1993). Kelas berada dalam struktur sekolah yang memiliki organisasi, aturan, dan agenda, tempat pemimpin sekolah, administrator, guru, dan siswa berinteraksi untuk menjalankan fungsi sekolah sebagai pusat pembelajaran. Sementara itu, keberadaan dan fungsi sekolah bergantung pada kebijakan, sumber daya, batasan-batasan, dan mandat dari pemerintah daerah maupun pusat. Means (1993) menggambarkan struktur yang lebih luas itu dimodifikasi oleh penulis), yang menjelaskan hubungan antarlevel dan prinsip-prinsipnya. Reformasi di tingkat kelas, dengan berbagai aktivitasnya, dilakukan dengan komitmen sekolah untuk melakukan pembaruan. Sekolah harus mendeskripsikan tujuan-tujuan pembaruan secara jelas dan mengomunikasikan mereka kepada para guru, murid, dan wali murid. Maka, di sini dibutuhkan konsensus mengenai apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mengukur keberhasilan pencapaiannya. Membangun kultur sekolah yang kondusif dimulai dengan membangkitkan dan meneguhkan semangat dan motivasi semua sivitas sekolah untuk melakukan pembaruan. Langkah ini diikuti dengan mengembangkan nilai-nilai baru dan ekspektasi yang tinggi akan perubahan perilaku. atmosfir pergaulan dan hubungan kerja yang hangat dalam suasana saling membutuhkan dan menguntungkan, dan, terakhir, dengan memperhatikan dan mengaitkan kehidupan siswa di rumah dengan kultur masyarakat. Masih dalam karya yang sama, Means (1993) juga menekankan pentingnya desentralisasi di tingkat sekolah agar sekolah mampu membuat keputusan sendiri dan memiliki tanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya. Site-based management ini memerlukan kepemimpinan (leadership) yang kuat di sekolah, dan pimpinan sekolah dan guru-guru bertanggung jawab terhadap manajemen sekolah untuk bekerja sama mengembangkan kurikulum baru, mengevaluasi, dan berbagi pengetahuan baru.
Reformasi pembelajaran memberi para guru tanggung jawab dan otoritas yang jauh lebih besar (Means, 1993). Profesionalitas guru, pertama-tama, mensyaratkan jiwa kepemimpinan untuk menentukan apa dan bagaimana ia membawa siswa ke dalam proses pembelajaran yang bermakna (meaningful tasks). Seorang guru harus mampu menjadi sumber pengetahuan dan mendemonstrasikan kemampuan intelektualnya dalam membimbing siswa mencapai tujuan tertentu. Jadi, guru akan berperan sebagai pemimpin (leader), manajer sekaligus fasilitator, yang harus mampu menciptakan kondisi dan tugas belajar yang menarik, rangsangan-rangsangan belajar dan inovasi-inovasi pembelajaran, dan ikut bertanggung jawab untuk mengembangkan karakter dan kepribadian siswa yang mungkin amat heterogen di kelas. Tuntutan untuk bertanggung jawab dan mempunyai skill tinggi itu, membuat guru harus diberi kesempatan seluas luasnya untuk mengikuti pelatihan dan memperoleh masukan (feedback) dalam mengimplementasikan pembaruan pembelajaran (Means, 1993).

Reformasi pendidikan untuk memandirikan pengelolaan sekolah membutuhkan dukungan politik, misalnya pendelegasian wewenang, peraturan/perundang-undangan yang relevan, dukungan pembiayaan dan sumber daya lainnya, dan pengembangan kapasitas (capacity building) sekolah agar sekolah menjadi institusi yang mandiri, cakap, dan kreatif dalam untuk melaksanakan pembaruan.

Peran pihak-pihak eksternal (external players) dalam komunitas pendidikan dibutuhkan, selain untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, juga untuk membantu menghasilkan lulusanlulusan yang cakap, bermutu, dan kompetitif. Dengan demikian, dalam reformasi pendidikan, mereka turut memberikan tekanan, pemikiran, evaluasi, dan dukungan agar reformasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Yang termasuk dalam pihak eksternal adalah kalangan industri teknologi, yang, dengan kekuatan modalnya, terus melakukan riset dan pengembangan teknologi canggih juga
untuk kepentingan di bidang pendidikan.













PENUTUP
Reformasi pembelajaran dibutuhkan untuk melakukan pembaruan sistem pembelajaran konvensional yang dinilai sudah usang dan tidak relevan dengan dinamika perubahan zaman yang makin cepat dan intensif. Dinamika perubahan itu dipacu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sistem pendidikan lama dianggap tidak lagi mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman baru.

Penulis mencatat sembilan poin penting (key words) untuk melakukan reformasi
pembelajaran yang efektif, sebagai berikut:
1. penekanan aspek mental dan pribadi; telah diyakini bahwa citra diri, atau konsep diri (selfconcept), adalah faktor penentu kesuksesan pembelajaran anak didik. Mengembangkan citra diri/konsep diri berarti membangun karakter dan pribadi siswa—melalui proses pengenalan diri untuk menumbuhkan kepercayaan diri, kemampuan mengendalikan diri, dan mengatur dirinya dalam merencanakan dan melakukan proses belajar.

2. memahami cara belajar dan cara berpikir; pemahaman ini merupakan dasar-dasar bagi proses belajar selanjutnya, agar siswa memahami bagaimana melakukan pembelajaran yang efektif. Disini siswa akan berlatih keterampilan berpikir dan berpikir kreatif.

3. orientasi pada kecakapan hidup; merupakan pendekatan komprehensif untuk menempa kecakapan siswa yang relevan dengan hidup dan kehidupan. Siswa, selaras dengan tujuan atau cita-citanya (pilihan bidang studi), harus memahami apakah ia akan lebih mengutamakan pengembangan kemampuan akademik atau kemampuan vokasional.

4. mendorong lingkungan belajar konstruktivis; pendekatan ini dilandasi oleh teori yang menekankan pentingnya peran indera dalam proses belajar, dan juga oleh filsafat konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan/pemahaman akan terbentuk (efektif) melalui pengalaman-pengalamannya sendiri, setelah siswa melakukan tindakan/kegiatan terhadap suatu objek (untuk pengetahuan fisis, matematis, logis) atau melakukan interaksi dengan orang lain (pengetahuan sosial) (Suparno, 1997).

5. memasukan aspek kecerdasan majemuk dalam pembelajaran; berdasarkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences), proses pembelajaran dapat dikembangkan, dari segi materi (untuk mengembangkan potensi orisinil atau ‘bakat’ siswa) maupun dari segi metode (untuk memberikan kondisi belajar terbaik bagi kelas yang heterogen).

6. menekankan tugas-tugas autentik daripada subyek invidual; kelebihan tugas-tugas autentik adalah berbasis kasus/masalah dengan tujuan yang jelas, melalui proses pembelajaran bermakna (meaningful learning) sehingga tugas-tugas autentik menjadi lebih menarik, menantang dan merangsang pemikiran, akomodatif terhadap heterogenitas, dapat dilakukan dengan berkolaborasi, dan multidisiplin.

7. guru sebagai fasilitator, bukan sumber tunggal pengetahuan; dinamika dan intensitas proses pembelajaran dikendalikan sendiri oleh siswa (prinsip kemandirian), tetapi tetap dikelola oleh guru yang berperan sebagai pemimpin (leader), manajer sekaligus narasumber.

8. mengintegrasikan teknologi; signifikansi peran positif teknologi (ICT) dalam proses pembelajaran makin dipahami dan disadari. Siswa dapat belajar “dari” teknologi (CBI) dan “dengan” teknologi (constructivist learning tools). Teknologi juga memberikan kesenangan, kemudahan, dan kecepatan dalam belajar, dan melibatkan siswa dalam kecanggihan dan kemutakhiran teknologi (advanced skill).

9. dukungan politik, manajemen, dan sumber daya; faktor-faktor ini diperlukan karena reformasi pembelajaran pada hakikatnya harus dipahami sebagai upaya pembaruan pendidikan yang fundamental dan struktural, atau dengan kata lain, harus dilakukan dengan semangat dan kerangka pemahaman untuk melakukan ‘reformasi pendidikan’.

Sekali lagi, reformasi pembelajaran harus dipahami dengan semangat dan kerangka pemahaman melakukan ‘reformasi pendidikan’, karena pada kenyataannya pembaruan sekolah melibatkan sistem yang lebih luas, termasuk komitmen politik pemerintah. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, sedang merencanakan perubahan sistem pendidikan nasional secara fundamental dan struktural, sebagai penyempurnaan dan tindak lanjut dari UU Sisdiknas No. 20/2003, dan juga UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No. 25 yang mengatur kewenangan daerah otonom. Perubahan ini pada intinya merupakan upaya untuk melakukan reformasi pendidikan yang mendorong terciptanya sekolah-sekolah yang mandiri (otonom) dan mampu mengembangkan diri guna mencapai keunggulan mutu pendidikan.








REFERENSI
Armstrong, T. (2004). Sekolah para juara. Bandung: Kaifa.
Becker, H.J. (1994). Analysis and trend of school use of new information technology. California:
University of California, Departement of Education.
Buzan, T. (2003). Sepuluh cara jadi orang yang cerdas secara spiritual. Jakarta: Gramedia.
Covey, S.R. (1994). 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif. Jakarta: Binarupa Aksara.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan
Kecakapan Hidup di SMA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Dryden, G. & Vos, J. (2003). Revolusi cara belajar (The learning revolution). Bandung: Kaifa.
Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences.
Gunawan, A.W. (2007). Born to be a genius. Jakarta: Gramedia
Means, B. (1993). Using technology to support education reform. Amerika Serikat: US Government
Printing Office.
Reeves, T.C. (1998). The impact of media and technology in schools. A research report prepared for
the Bertelsmann Foundation. Amerika Serikat: University of Georgia.
Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Woodbridge, J. (2004). Technology integration as a transformation teaching strategy. Diambil 5 Juni
2007, dari www.techlearning.com.

ICT

PENGGUNAAN ICT
1. Latar Belakang
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information Communication and Technology (ICT) di era globalisasi saat ini sudah menjadi kebutuhan yang mendasar dalam mendukung efektifitas dan kualitas proses pendidikan. Isu-isu pendidikan di Indonesia seperti kualitas dan relevansi pendidikan, akses dan ekuitas pendidikan, rentang geografi, manajemen pendidikan, otonomi dan akuntabilitas, efisiensi dan produktivitas, anggaran dan sustainabilitas, tidak akan dapat diatasi tanpa bantuan TIK. Pendidikan berbasis TIK merupakan sarana interaksi manajemen dan administrasi  pendidikan, yang dapat dimanfaatkan baik oleh pendidik dan tenaga kependidikan maupun peserta didik dalam meningkatkan kualitas, produktivitas, efektifitas dan akses pendidikan.
Perkembangan TIK atau multimedia di Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan masih belum optimal dibandingkan dengan negara-negara tetangga sepertI Singapura, Malaysia dan Thailand. Terdapat beberapa masalah dan kendala yang masih dirasakan oleh masyarakat khususnya tenaga pendidik dan profesional pendidikan untuk memanfaatkan TIK di berbagai jenjang pendidikan baik formal maupun non formal. Permasalahan tersebut terutama berkaitan dengan kebijakan, standarisasi, infrastruktur jaringan dan konten, kesiapan dan kultur sumber daya manusia di lingkungan pendidikan. Oleh karena itu, berbagai upaya yang telah dan akan dilakukan baik pemerintah maupun masyarakat dalam rangka pemanfaatan TIK dalam pendidikan sangat urgen dan mutlak dilakukan secara terintegrasi, sistematis dan berkelanjutan. Dalam makalah ini khususnya akan dibahas bagaimana kebijakan dan standarisasi mutu penyelenggaraan pendididkan berbasis TIK. Apa standarisasi mutu yang disyaratkan untuk penyelengganan pendidikan berbasis TIK yang efektif dan efisien serta akuntabel.
2. Konsep Teknologi Informasi dan Komunikasi
Secara sederhana Elston (2007) membedakan antara Teknologi Informasi (IT) dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), yaitu “IT as the technology used to managed information and ICT as the technology used to manage information and aid communication”. Sementara itu, UNESCO (2003) mendefinisikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai berikut: “ICT generally relates to those technologies that are used for accessing, gathering, manipulating and presenting or communicating  information. The technologies could include hardware e.g. computers and others devices, software applications, and connectivity e.g. access to the internet, local networking infrastructure, and  video conferencing”.
Dalam praktek di lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, TIK meliputi komputer, laptop, network komputer, printer, scanner, video/DVD player,  kamera digital, tape/CD, interactive whiteboards/smartboard. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa peran TIK adalah sebagai enabler atau alat untuk memungkinkan terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran. Jadi TIK merupakan sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.
Morsund dalam UNESCO (2003) mengemukakan cakupan TIK secara rinci yang meliputi sebagai berikut:
piranti keras dan piranti lunak komputer serta fasilitas telekomunikasi
mesin hitung dari kalkulator sampai super komputer
perangkat proyektor / LCD
LAN (local area network) dan WAN (wide area networks)
Kamera digital, games komputer, CD, DVD, telepon selular, satelit telekomunikasi dan serat optik
mesin komputer dan robot
Sejatinya TIK memiliki potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan khususnya di bidang pendidikan. Rencana cetak biru TIK Depdiknas, paling tidak menyebutkan tujuh fungsi TIK dalam pendidikan , yaitu sebagai sumber belajar, alat bantu belajar, fasilitas pembelajaran, standard kompetensi, sistem administrasi, pendukung keputusan, dan sebagai infrastruktur.
UNESCO telah mengidentifikasi  4 (empat) tahap dalam sistem pendidikan yang mengadopsi TIK, yaitu :
1) Tahap emerging; yaitu perguruan tinggi/sekolah berada pada tahap awal. Pendidik dan tenaga kependidikan mulai menyadari, memilih/membeli, atau menerima donasi untuk pengadaan sarana dan prasarana (supporting work performance)
2) Tahap applying; yaitu perguruan tinggi/sekolah memiliki pemahaman baru akan kontribusi TIK. Pendidik dan tenaga kependidikanu menggunakan TIK dalam manajemen sekolah dan kurikulum (enhancing traditional teaching)
3) Tahap infusing; yaitu melibatkan kurikulum dengan mengintegrasikan TIK. Perguruan tinggi/sekolah mengembangkan teknologi berbasis komputer dalam lab, kelas, dan administrasi. Pendidik dan tenaga kependidikan mengekplorasi melalui pemahaman baru, dimana TIK mengubah produktivitas professional (facilitating learning).
4) Tahap Transforming; yaitu perguruan tinggi/sekolah telah memanfatkan TIK dalam seluruh organisasi. Pendidik dan tenaga kependidikan menciptakan lingkungan belajar yang integratif dan kreatif (creating innovative learning environment) melalui TIK.
Dewasa ini pemanfaatan TIK dalam pendidikan dapat dilakukan melalui berbagai mode yang dikenal dengan Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ). Bates (2005) membedakan pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh dan pendidikan fleksibel sebagai berikut: “Open learning is a primarily a goal. An essential characteristics of open learning is the removal of barriers to learning. In distance learning students can study in their own time, at any place and without face-to-face contact with a teacher. Flexible learning is the provision of learning in a flexible manner”.
PTJJ merupakan alternatif model dalam  proses pembelajaran yang memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk belajar “kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja”.
3. Kebijakan Pemanfaatan TIK Pendidikan
3.1. Tantangan Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional memiliki banyak tantangan baik dari sisi input, proses maupun output. Beberapa tantangan pendidikan nasional tersebut adalah sebagai berikut:
Banyak anak usia sekolah yang belum dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun. Anak usia 7 – 12 tahun masih dibawah 80% yang telah menikmati pendidikan (APK SMP 85,22, dan APK SMA 52,2).
Tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan/sekolah sebagai contoh: tidak semua sekolah memiliki telepon, apalagi koneksi internet.
Tidak seragamnya dan rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah yang ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkat kelulusan Ujian Nasional dan nilai Ujian Nasional.
Rendahnya jumlah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta ( PTN – 82 dan PTS – 2.236 (Dikti,2003))
Rendahnya daya tampung dan tingkat partisipasi kuliah (Daya tampung sekitar 3,2 juta mahasiswa dengan tingkat partisipasi  12.8%. Padahal, Filipina mencapai 32% dan Thailand telah mencapai 30%.
BAN sebagai penentu kualitas pendidikan menginformasikan bahwa hampir 50% pendidikan tinggi berakreditasi C (46,35% program diploma dan 47.97% PTN dan PTS).
Rendahnya Tenaga Pengajar Non Formal (PLS). Kebutuhan guru PLS mencapai angka 519.790 orang. Sementara  yang ada hanya sebesar 113.622 orang  atau 22%. Sehingga diperlukan 406.168 guru atau 78%.  (PMPTK 2006).
Rendahnya tenaga pendidik yang belum memenuhi syarat sertifikasi (dari  2.692.217 orang guru yang ada, 727.381 orang (27%)  memenuhi syarat sertifikasi, sisanya 1.964.836 (73%) belum memenuhi syarat sertifikasi.
Berdasarkan survey HDI th 2005, Indonesia menduduki ranking 112 dari 175 negara (jauh berada di bawah Malaysia dan Bangladesh).
Rendahnya tingkat pemanfaatan TIK di sekolah/kampus (Digital Divide), yang ditunjukkan dengan kondisi dimana tidak semua sekolah mempunyai sarana TIK.  Sekalipun ada, jumlahnya terbatas dan pemanfaatannya masih belum optimal.
3.2. Peran Strategis TIK untuk Pendidikan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui Pendidikan Jarak Jauh  bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh telah menjadi suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional. Sistem pendidikan jarak jauh yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi (cetak), generasi kedua multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga pembelajaran jarak jauh (telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel (multimedia interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www).
Seperti tercantum secara eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009, terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam menunjang tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan pemerataan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau rakyat banyak.
Dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis TIK untuk pilar pertama, yaitu perluasan dan pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan sebagai media pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik,  peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi manajemen secara terintegrasi.
3.3. Infrastruktur Jaringan dan Konten TIK Depdiknas
Depdiknas telah memiliki infrastruktur backbone teknologi informasi dan komunikasi yang cukup besar dan siap untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya baik untuk kebutuhan pendidikan, penelitian, maupun adminisitrasi.
Jardiknas dikategorikan kedalam tiga zona, yaitu:
Zona Personal/Komunitas; yang diperuntukkan sebagai akses personal bagi  guru, dosen, dan siswa.
Zona Perguruan Tinggi; yang diperuntukkan bagi seluruh Perguruan Tinggi dan Kopertis; dan
Zona Kantor Dinas/UPT/Sekolah; diperuntukkan bagi sekolah, Dinas Pendidikan Kab/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Unit-unit Kerja Depdiknas.
Infrastruktur ini akan diisi oleh konten yang dikelompokkan dalam dua ketegori yaitu:
Kontent e-learning; konten e-learning dapat meliputi konten yang dikembangkan oleh Pustekkom, Ditdikdasmen, Ditjen Dikti, Setjen, atau unit-unit lain.
Konten e-administration; e-content administration meliputi online transaction proccessing (OLTP), data center warehouse (DCW) dan online analysis processing (OLAP)
4. Pembelajaran Berbasis TIK (e_Learning)
Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-learning sebagai berikut. Pertama, e-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line. Kedua, e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer), sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi. Ketiga, e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan. Keempat, Kapasitas peserta didik amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar konten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas peserta didik yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.
Pembelajaran berbasis TIK atau e-Learning adalah sumber pembelajaran baik secara formal maupun informal yang dilakukan melalui media elektronik, seperti Internet, Intranet, CDROM, video tape, DVD, TV, Handphone, dan PDA
Pola-pola seperti di atas semua berbeda satu dengan yang lain. E-learning lebih luas dibandingkan dengan online learning. Online learning hanya menggunakan Internet/intranet/LAN/WAN tidak termasuk menggunakan CD ROM.
Dalam pembelajaran berbasis TIK terdapat perbedaan komunikasi antara pembelajaran langsung (syncronous) dan tidak langsung (ansyncronous), dengan sebuah terminologi untuk mendeskripsikan bagaimana dan kapan pembelajaran berlangsung.
4.1. Pembelajaran Langsung (Syncronous Learning)
Dalam pembelajaran langsung, proses belajar dan mengajar berlangsung dalam waktu yang sama (real time) walaupun pendidik dan para peserta didik secara fisik berada pada tempat yang berbeda satu sama lain. Sebagai contoh yaitu:
1. Mendengarkan siaran Radio.
2. Menonton siaran Televisi
3. Konferensi audio/video.
4. Telepon Internet.
5. Chatting
6. Siaran langsung Satelite dua arah.
4.2. Pembelajaran Tidak Langsung (Ansyncronous Learning)
Dalam pembelajaran tidak langsung, proses belajar dan mengajar berlangsung dengan adanya delay waktu (waktu yang berbeda) dan pendidik dan peserta didik secara fisik berada pada tempat yang berbeda. Sebagai contoh yaitu:
1. Belajar sendiri menggunakan internet atau CD-Rom.
2. Kelas belajar menggunakan video tape.
3. Presentasi web atau seminar menggunakan audio/video.
4. Rekaman suara.
5. Mentoring tanya jawab.
6. Membaca pesan e-mail.
7. Mengakses content online
8. Forum diskusi
Karakteristik dari pembelajaran tidak langsung (ansyncronous) adalah pendidk harus mempersiapkan terlebih dahulu materi belajar sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Peserta didik bebas menentukan kapan akan mempelajari materi belajar tersebut.
5. Standarisasi Pendidikan Berbasis TIK dari SEAMOLEC
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 35, menyatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standarisasi pendidikan mutlak diperlukan untuk menjamin mutu proses dan hasil pendidikan. Pada dasarnya SNP merupakan persyaratan minimum yang ditetapkan UU, namun secara teknis diperlukan perumusan standar mutu dalam sistem pendidikan seperti Sistem Manajemen Mutu – ISO 9001:2008 / IWA 2.
McGee, Carmean dan Jafari (2005) menyatakan pentingnya standard dan spesifikasi dalam pendidikan berbasis TIK, karena memungkinkan terjadinya pembelajaran sebagai berikut: 1) Interoperability, sistem berinteraksi dengan sistem lain dalam organisasi, 2) Reusability, sumber / objek belajar mudah digunakan dalam kurikulum, latat, profil peserta didik yang berbeda, 3) Manageability, sistem telusur informasi tentang peserta didik dan konten, 4) Accessibility, semua peserta didik memiliki kemudahan menerima konten setiap saat, dan 5) Sustainability, teknologi terus berkembang sesuai standar untuk menghindari keusangan.


1.Simpulan dan Saran
Pemanfaatan tekonologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan mutlak dilakukan untuk menjawab permasalahan di bidang pendidikan terutama akses dan pemerataan serta mutu pendidikan. Kebijakan dan standarisasi mutu pendidikan menjadi pondasi yang harus dibangun untuk mendukung pendidikan berbasis TIK yang efektif dan efisien. Implementasi pendidikan berbasis TIK dapat dilakukan melalui model hybrid (dual system) yang mengkombinasikan pembelajaran klasikal (face 2 face) dengan belajar terbuka dan jarak jauh (on line). Sedangkan pembelajaran berbasis TIK dapat dilaksanakan secara lansung (syncronous learning) dan tidak langsung (asyncronous Learning). Hal ini tergantung dengan kondisi teknologi dan jaringan yang tersedia. Standarisasi dalam pemanfaatan TIK dalam pendidikan sangat penting untuk menjamin mutu proses dan hasil pendidikan.
Beberapa saran yang dapat dikemukakan untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pendidikan berbasis TIK sebagai berikut.
1.Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pendidikan baik di sekolah atau perguruan tinggi menjadi hal mutlak mengingat kondisi permasalahan pendidikan yang makin kompleks. Pendidikan berbasis TIK hanya akan berhasil apabila dikelola dan ditangani dengan terencana, sistematis dan terintegrasi.
2.Perencanaan dalam pemanfaatan TIK dalam pendidikan yang integratif meliputi kebijakan, standarisasi mutu, infrastruktur jaringan dan konten, kesiapan dan kultur SDM pendidikan menjadi penting untuk ditata dan dikelola dengan efektif dan efisien.
3.Penyelenggaraan pendidikan berbasis TIK melalui  pendidikan terbuka dan jarak jauh (e-Learning), membutuhkan dukungan dari semua pihak khususnya pemerintah, swasta serta masyarakat untuk mengalokasikan anggaran dan investasi pendidikan yang memadai.
4.Standarisasi mutu penyelenggaran pendidikan berbasis TIK perlu ditindaklanjuti dengan standarisasi konten untuk menjamin kualitas, aksesibilitas dan akuntabilitas program pendidikan berbasis TIK.

pemecahan masalah


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Matematika sebagai suatu ilmu memiliki objek dasar abstrak yang dapat berupa fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Dari objek dasar itu berkembang menjadi objek-objek lain, misalnya pola-pola, struktur-struktur dalam matematika yang ada dewasa ini. Pola pikir yang digunakan dalam matematika itu adalah deduktif atau deduktif aksiomatik (Sumarno dan Sukahar, 1996 : xiii).
Matematika sebagai ilmu dasar begitu cepat mengalami perkembangan, hal itu terbukti dengan makin banyaknya kegiatan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, matematika juga sangat diperlukan siswa dalam mempelajari dan memahami mata pelajaran lain. Akan tetapi pada kenyataannya banyak siswa merasa takut, enggan dan kurang tertarik terhadap mata pelajaran matematika. Banyak siswa yang kurang tertantang untuk mempelajari dan menyelesaikan soal-soal matematika, terutama soal-soal cerita. Selama ini metode yang dipergunakan dalam pembelajaran soal cerita dalam matematika pada kelas III SD Tambakaji 05, masih menggunakan metode ceramah dan latihan, sedangkan soal cerita dalam matematika itu sendiri merupakan kegiatan pemecahan masalah. Berpijak pada permasalahan tersebut, maka guru merasa perlu untuk berupaya memperbaiki metode pembelajarannya. Salah satunya adalah menggunakan metode pemecahan masalah.

Johnson dan Rising dalam Ruseffendi (1997 : 28) mengemukakan bahwa matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan symbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol, mengenai ide (gagasan) daripada mengenai bunyi. Kemudian Kline dalam Ruseffendi (1994 : 28) mengemukakan matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Berpijak dari pengertian-pengertian di atas, maka matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi melalui bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran sehingga siswa mampu menyelesaikan permasahan hidup sehari-hari. Menurut kurikulum 2004, matematika merupakan suatu bahan kajian
yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Dalam pembelajaran matematika agar mudah dimengerti oleh siswa, proses penalaran induktif dapat dilakukan pada awal pembelajaran. Kemudian dilanjutkan dengan proses penalaran deduktif untuk menguatkan pemahaman yang sudah dimiliki oleh siswa. Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah (Depdiknas, 2003 : 6). Berpijak dari uraian di atas, maka di Sekolah Dasar, khususnya kelas III terlebih dahulu siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda sehingga keaktifan siswa dalam proses belajar terjadi secara penuh. Bruner dalam Ruseffendi (1994 : 109-110) mengemukakan bahwa dalam proses belajar siswa melewati 3 tahap yaitu :
1) Tahap enaktif
Dalam tahap ini siswa secara langsung terlibat dalam memanipulasi objek.
2) Tahap ikonik
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan siswa berhubungan dengan mental, yang merupakan
Crow and Crow, dalam Erman Amti (1992 : 2) mengemukakan bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang baik pria maupun wanita yang telah terlatih dengan baik dan memiliki kepribadian dan pendidikan yang memadai kepada seorang dari semua usia untuk membantunya mengatur kegiatan, keputusan sendiri dan menanggung bebannya sendiri. Kemudian Jones dalam Djumhur dan M. Surya (1975 : 10) mengemukakan bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu-individu dalam menentukan pilihan-pilihan dan mengadakan berbagai penyesuaian dengan bijaksana dengan lingkungan. Bimbingan belajar adalah layanan bimbingan yang memungkinkan siswa mengembangkan diri dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, materi belajar yang cocok dengan kecepatan dan kesulitan belajar atau dapat pengatasi kesulitan belajar dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika (Heru Mugiarso, 2004 : 17).
Dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika digunakan suatu strategi yang mengaktifkan siswa untuk belajar. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar matematika, guru hendaknya memiliki dan menggunakan metode atau strategi yang banyak melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan materinya. Adapun metode yang direkomendasikan dalam pembelajaran soal cerita adalah metode pemecahan masalah. Tahapan penyelesaian masalah dapat diskemakan sebagai berikut :

Analisis > Rencana > Penyelesaian > Penilaian

1. Analisis
Memperoleh gambaran lengkap dari apa yang diketahui dan apa yang dipermasalahkan.
2. Rencana
Mengubah permasalahan menjadi sebuah masalah atau soal yang penyelesaiannya secara prinsip dapat diketahui
3. Penyelesaian
Melaksanakan rencana pemecahan yang dituliskan dengan jelas dalam bentuk pengerjaan dan hasil.
4. Penilaian
Memeriksa, apakah masalah sudah diselesaikan dengan tuntas dan layak sebagai jawaban pertanyaan atau penyelesaian masalah. Sukirman dalam Ruseffendi ( 1997 : 10.9 – 10.11).

Mengacu pada pendapat Bruner, bahwa di dalam pembelajaran matematika harus menggunakan tahapan-tahapan tertentu dan pendekatan kontekstual. Maka sebelum siswa menyelesaikan soal cerita, terlebih dahulu diadakan tanya jawab yang mengarah pada pemecahan penyelesaian soal
cerita sebagai berikut :
1) Tahap enaktif
Guru mengadakan tanya jawab, contoh :
Guru : “Berapa uang sakumu, Vera ?”
Vera : “Empat ratus rupiah, Bu”
Guru : “Sekarang kamu Rian, berapa uang sakumu ?”
Rian : “Lima ratus rupiah, Bu”
Guru : “Vera mempunyai uang empat ratus rupiah. Rian mempunyai uang lima ratus rupiah. Bila disatukan ada berapa uang saku mereka ?”
Siswa : “Sembilan ratus rupiah”.
Di dalam tahap enaktif adanya pengalaman langsung dan alat peraga yang berupa uang.
2) Tahap ikonik
Guru mengadakan tanya jawab seperti di atas tetapi pada tahap ikonik dimanipulasi dengan menggambar himpunan di papan tulis seperti berikut :











gambar di yg paling atas

Di dalam tahap ikonik adanya manipulasi benda asli dengan tiruan.
3) Tahap Simbolik
Guru langsung menggunakan lambang bilangan karena pada tahap ini siswa sudah mampu menggunakan notasi dan berpikir abstrak.
Rp. 400,00 + Rp. 500,00 = Rp. 900,00

Soal cerita dalam pembelajaran matematika adalah bentuk soal non rutin karena merupakan kegiatan pemecahan masalah. Dalam menyampaikan soal cerita, siswa harus :
1) Mengerti soalnya dan mengetahui dengan jelas apa yang ditanyakan
2) Dapat menuliskan kalimat matematikanya dalam bentuk kalimat bilangan dengan salah satu peubah (biasanya n)
3) Mencari bilangan yang membuat hal itu menjadi benar (berapakah n)
4) Menjawab pertanyaan dalam soal cerita itu menggunakan bilangan yang diperoleh (Hambali dan Siskandar, 1993 : 43 – 44)

Langkah-langkah di atas dalam pembelajaran soal cerita di kelas III sebagai berikut :

Contoh soal :

Suatu pertandingan sepak bola dihadiri 2.750 penonton putra dan 4% penonton putri. Sebelum pertandingan berakhir, jumlah penonton yang telah pulang 372. berapa orang jumlah penonton yang pulang setelah pertandingan berakhir ? (Supardjo, 2004 : 74) Dalam hal ini perlu dibiasakan untuk menulis terlebih dahulu :
1) Apa yang diketahui
Banyak penonton putra 2.750 orang
Banyak penonton putri 496 orang
Penonton yang pulang sebelum pertandingan berakhir 372 orang
2) Apa yang ditanya
Berapa jumlah penonton yang pulang setelah pertandingan berakhir
3) Menulis kalimat matematikanya
2.750 496 – 372 = . . . .
4) Menjawab pertanyaan dan mengkomunikasikan hasilnya
2.750
496 +
3.246
372 -
2.874



Jadi penonton yang pulang setelah pertandingan ada 2.874 orang. Selain metode dalam pembelajaran soal cerita diperlukan adanya penggunaan media yang tepat. Adapun media rekomendasikan dalam
pembelajaran soal cerita penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah adalah :
1) Media tiga dimensi realita berupa mata uang
Penggunaan mata uang dalam pembelajaran soal cerita selain guru yang menggunakan, siswa juga diberi kesempatan untuk menggunakan sendiri.
2) Media visual diam yang berupa lembar kerja siswa
Lembar kerja siswa dibuat oleh guru, yang memuat perintah dalam mengerjakan dan soal cerita sebagai latihan yang harus diselesaikan siswa.
3) Media visual diam yang berupa kertas manila bertuliskan soal cerita.

Jumat, 04 Februari 2011

statistik terapan dalam dunia biologi

STATISTIKA DALAM DUNIA BIOLOGI

Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Istilah 'statistika' (bahasa Inggris: statistics) berbeda dengan 'statistik' (statistic). Statistika merupakan ilmu yang berkenaan dengan data, sedang statistik adalah data, informasi, atau hasil penerapan algoritma statistika pada suatu data. Dari kumpulan data, statistika dapat digunakan untuk menyimpulkan atau mendeskripsikan data; ini dinamakan statistika deskriptif. Sebagian besar konsep dasar statistika mengasumsikan teori probabilitas. Beberapa istilah statistika antara lain: populasi, sampel, unit sampel, dan probabilitas.
Statistika banyak diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu alam (misalnya astronomi dan biologi maupun ilmu-ilmu sosial (termasuk sosiologi dan psikologi), maupun di bidang bisnis, ekonomi, dan industri. Statistika juga digunakan dalam pemerintahan untuk berbagai macam tujuan; sensus penduduk merupakan salah satu prosedur yang paling dikenal. Aplikasi statistika lainnya yang sekarang popular adalah prosedur jajak pendapat atau polling (misalnya dilakukan sebelum pemilihan umum), serta jajak cepat (perhitungan cepat hasil pemilu) atau quick count. Di bidang komputasi, statistika dapat pula diterapkan dalam pengenalan pola maupun kecerdasan buatan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Statistika)
Dalam statistika terapan yang berkaitan dengan ilmu biologi terdapat ilmu Biostatistik dan Biometrik.
1. Biostatistik
Biostatistika (gabungan dari kata biologi dengan statistika; kadang-kadang dirujuk sebagai biometri atau biometrika) adalah penerapan ilmu statistika ke dalam ilmu biologi. Ilmu biostatistika meliputi rancangan percobaan biologi, utamanya dalam bidang agrikultur dan kedokteran, pengoleksian data, peringkasan data, dan analisis data percobaan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Biostatistika)
Biostatistik merupakan ilmu statistika terapan yang mengenalkan perhitungan statistik kehidupan, baik konsep dasarnya, penyajian data, pemusatan dan penyebaran data, kemiringan dan distribusinya dalam kurve normal serta konsep estimasi, sampling, uji hipotesis dan uji-uji statistik deskriptif, korelasi maupun komparasi. Hal-hal tersebut akan sangatlah berguna dalam melakukan analisis data penelitian kuantitatif.Pada bahasan Konsep dasar statistik umum, kita akan banyak mengerti hal-hal meliputi: Pengertian statistika, Ruang lingkup statistika, Pengertian dan jenis data serta Variabel dan skala pengukuran variabel.
Bahasan tentang Manfaat dan teknik penyajian akan secara terinci tentang tahap pengumpulan, pengolahan hingga penyajian data, Jenis-jenis dan cara penyajian data secara Textular, Tabularmaupun Grafikal, Jenis table penyajian data, Cara membuat table, Menyajikan table dalam bentuk table:Tabel distribusi frekuensi, Tabel silang 2 variabel. Akan diuraikan juga penyajian data kualitatif maupun kuantitatif. Penyajian data kualitatif secara grafik: Grafik batang, Grafik gambar, Grafik pie (lingkaran), Penyajian data kuantitatif secara grafik: Histogram, poligon, Ogive, Garis, Scater plot diagram.
http://nziemahfujiah.blogspot.com/2010/12/biostatistika.html)

2. Biometrika

Pada era informasi ini, sistem pengenalan seseorang (personal recognition) secara otomatis menjadi sesuatu yang sangat penting. Sistem pengenalan merupakan permasalahan untuk memecahkan identitas seseorang.

Terdapat dua tipe sistem pengenalan, yaitu verifikasi dan identifikasi. Sistem verifikasi untuk menerima atau menolak identitas yang diklaim seseorang, sedangkan sistem identifikasi adalah permasalahan memecahkan identitas seseorang.

Pada dasarnya, metode-metode sistem pengenalan dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, berdasar sesuatu yang dimiliki (possessions based), seperti kunci dan kartu. Kedua, berdasar sesuatu yang diketahui (knowledge based), seperti identitas pengguna (userid), PIN, dan password. Ketiga, berdasar biometrika (biometrics based).

Penggunaan kunci atau kartu memiliki beberapa kelemahan, seperti dapat hilang atau dicuri, dapat digunakan secara bersama-sama, dan mudah diduplikasi. Penggunaan userid, PIN, dan password juga menimbulkan beberapa permasalahan, seperti tak diingat (dilupakan), dapat digunakan secara bersama-sama, dan beberapa password mudah diperkirakan.

Biometrika menggunakan karakteristik unik dari fisiologis atau tingkah laku manusia. Biometrika menawarkan sistem pengenalan yang lebih dapat dipercaya atau lebih andal. Biometrika banyak digunakan untuk sistem pengenalan seseorang secara otomatis, baik untuk sistem identifikasi maupun verifikasi.

Di dunia teknologi informasi, aspek keamanan menjadi salah satu faktor penting yang tak bisa dilepaskan. Kejahatan yang makin berkembang di dunia teknologi informasi membuat sistem biometrik diharapkan mampu mengatasi masalah keamanan yang sering muncul dalam teknologi informasi.

Biometrika berasal dari bahasa Yunani, yakni gabungan dari kata “bios” dan “metron”. Bios berarti hidup dan metron berarti perhitungan. Jadi, secara umum, biometrika merupakan teknologi untuk menunjukkan keaslian individu yang mengakses aset organisasi. Keaslian adalah konsep yang menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang diizinkan saja (autentik) yang dapat mempunyai akses terhadap aset organisasi.

Sistem biometrika telah banyak dipergunakan dan dikembangkan di banyak negara. Walt Disney Amerika Serikat (AS), misalnya, menggunakan teknologi sistem biometrika fingerprint untuk mengidentifikasi pemilik kartu musiman yang masuk ke wahana tersebut.

Biasanya suatu sistem biometrika terdiri atas lima komponen yang terintegrasi. Pertama, sensor yang berfungsi mengumpulkan atau menangkap data, kemudian mengompresi data itu ke format digital. Kedua, pengolahan untuk melakukan aktivitas pengolahan atau pengendalian mutu pengembangan template biometric. Ketiga, komponen penyimpanan data untuk dibandingkan dengan template biometric yang baru.

Keempat, algoritma pencocokan untuk membandingkan template biometric yang baru dan template biometric yang tersimpan. Kelima, proses pengambilan keputusan berdasar hasil pencocokan yang telah dilakukan. Banyak kelemahan sistem tradisional menjadi tolok ukur dalam pengembangan sistem biometrika.

Sebagai contoh di dunia teknologi informasi, akses account pribadi seseorang di situs jejaring sosial yang masih menggunakan password yang berupa karakter dapat dengan mudah diketahui atau ditebak orang lain dengan berbagai metode penyerangan dan tool yang tersedia secara bebas di internet. Namun dalam sistem biometrika, sistem tak begitu saja memberikan jawaban “yes” atau “no” pada seseorang yang meminta hak akses karena ada proses identifikasi terlebih dahulu.

Selain itu, banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan memakai teknologi biometrika. Tidak ada lagi yang lupa atau pencurian password, keaslian lebih terjamin karena harus menghadirkan person sebagai alat validasi, identifikasi positif dan akurat, tingkat keamanan tertinggi menawarkan mobilitas, berfungsi sebagai kunci yang tak dapat ditransfer, aman, dan bersahabat dengan pengguna.

Cara kerja teknologi keamanan ini hampir sama dengan teknologi keamanan lain yang sangat tergantung pada sensor. Sensor yang digunakan pada teknologi biometrika cenderung mahal dan makin akurat, sehingga kian mahal.

Selain sensor, bagian yang tak kalah penting dari biometrika adalah data. Bagaimana Anda menyimpan data di sebuah sistem sangat penting. Sebab, biometrika adalah teknologi yang tergantung pada data. Bila data yang disimpan tak aman atau lengkap, kemungkinan ada penyusup ke sistem itu lebih besar.
(http://engineeringtown.com/home/teenagers/index.php?option=com_content&view=article&id=685:biometrika-sistem-identifikasi-masa-depan&catid=60:inovasi-teknologi&Itemid=86)

NUSA EMASU

KeNaL! diRi_Q

aku jiwa yang setengah mati
terkubur oleh ego pribadi
kini ku yang tersisah hanyalah mati........