Lembar tua bertitelkan “KAPITAN MERAH” mengantar suara dari seberang…..
Lewati subuh ia datang bersama fajar,
bait katanya menyatu dalam cahaya menghampiriku di sudut kamar
memenuhi hampir separuh raga hingga memaksaku menyudahi mimpi yang belum sempat usai….
Kawan itu datang…
Mengabarkan suara yang terhimpit di antara tebing,
Namun bagaimana ku mampu menjulurkan seutas tali
Sedangkan kami disini seolah tenggelam dalam lumpur….
Kawan….
Dari genangan lumpur itu kami bersuara
Lama kami merindu, sejatinya rindu…..ibarat nelayan merindukan sampan, ibarat petani merindukan arit, ibarat bayi merindukan setetes susu……seperti itu pula kami merindu, merindu titah bebaskan suara ….untuk mampu berteriak tanpa di kekang, untuk mampu berkata tanpa di bungkam, untuk mampu menda’wakan titah Pandita yang lama tertutup oleh debu zaman di negeri sendiri.
Kawan….
Di negeri ini….
Disaat isyarat lambaian gadihu ma’a lawa hinia huai menjadi nyata, haita namalatu menjadi saksi melimpahnya rezky.,,ups….maaf ….hanya nostalgia sesaat menyenangkan hati yang merindu.
Itu dulu….
di saat mereka yang kini tertidur menggenggam zaman……
Kini, di negeri ini….
Kita mewarisi cerita dari mereka yang tertidur pulas
Di negeri yang tergadaikan, titah menjadi barang langkah untuk di emban
Kini, di negeri ini….
Kita di dendangkan melodi memekakan telinga.,
terlalu sering hingga bocah pun nyenyak dalam tidurnya yang hampa.
tabuhan tifa pengiring dendang dalam bait lani pun kian menjadi pudar….
Duhai Engkau yang terlelap di antara kami
Bangunlah dari tidurMu…
Lewat air mata kami, Di atas ketinggian Waelurui telah Engkau dengar kisah ini
Lewat rintihan kami, apakah belum sanggup menggetarkan permadaniMu di puncak Alaka?
Dan perjuangan ini belum berakhir….
Pendakian ini masih berlanjut hingga nanti ku menggapaiMu
Di kota-kota terindah yang perna ku dengar lewat cerita ibu
Bangun…..dan ambil kembali kisahMu
Urai semua kekusutan negeri ini
Dan rajut kembali kisah yang lama tenggelam
Di Negeri yang tergadaikan oleh nafsu duniawi…….
Sisi lain ku bercerita…
Nurani mu kawan si Kapitan Merah yang terurai dalam bait puisi
Menyapa kala diri menyendiri di seberang…
Memandang jauh ke titik jingga ku berdiri tegak di tepian losari
Berharap pijakanku benar adanya
sesuai petuahMu, petuah dari yang kini meninggalkan sebongkah tanah
di antara makam para sultan….
Untuk Kawan di seberang yang mengatasnamakan “Kapitan Merah”
Dari “Pauwa Maralessy Wa’a Nusa Ri Malombassi Daeng Matawa”
Sabtu, 24 Juli 2010
1/4 malam
1/4 malam cerita terurai
pena enggan menorehnya
kisah ku terlalu pekat untuk dituang
jemari ku pun terayun pelan
huruf menyambut kata
kata menyambut kalimat
kalimat menyambut maksud
inilah cerita ku
di waktu malam tak lagi berbintang
di waktu malam tanpa rembulan
di pundak bukit ku tengadah
mencari bintang yang hilang
semua kembali asing
tak kala jiwa terpasung dalam sunyi
hhhhhhhhh.............
ku ingin berdiri hingga hilang kepenatan ini
kalaupun Rabb ingin menjamu ku dengan cawan indah-Nya
walau itu pahit, akan ku teguk secangkir takdir-Nya itu
hingga dalam dan hanyut bersama gelap-Nya malam ini
pena enggan menorehnya
kisah ku terlalu pekat untuk dituang
jemari ku pun terayun pelan
huruf menyambut kata
kata menyambut kalimat
kalimat menyambut maksud
inilah cerita ku
di waktu malam tak lagi berbintang
di waktu malam tanpa rembulan
di pundak bukit ku tengadah
mencari bintang yang hilang
semua kembali asing
tak kala jiwa terpasung dalam sunyi
hhhhhhhhh.............
ku ingin berdiri hingga hilang kepenatan ini
kalaupun Rabb ingin menjamu ku dengan cawan indah-Nya
walau itu pahit, akan ku teguk secangkir takdir-Nya itu
hingga dalam dan hanyut bersama gelap-Nya malam ini
di Bumi-MU
Di Bumi-Mu....
Aku Terhempas
Terurai semua asa
hilang entah ke mana
Di Bumi-Mu....
Aku merintih
Jiwa yg dulu tegar
kini berganti rapuh
saat asa itu kian suram
Di Bumi-Mu...
Ku terpuruk
dalam....
dalam....
dalam....
Pekatx Malam-Mu
dan di sini
di Bekas Pijakan-Mu
ku terhempas ke
tepian karang
yakinku mulai sirna
bersama fajar kemarin
sembah sujudku untuk-Mu Nan Datu'
aku melangkah mundur membawa maaf untuk-Mu
*Renungan Semalam*
Aku Terhempas
Terurai semua asa
hilang entah ke mana
Di Bumi-Mu....
Aku merintih
Jiwa yg dulu tegar
kini berganti rapuh
saat asa itu kian suram
Di Bumi-Mu...
Ku terpuruk
dalam....
dalam....
dalam....
Pekatx Malam-Mu
dan di sini
di Bekas Pijakan-Mu
ku terhempas ke
tepian karang
yakinku mulai sirna
bersama fajar kemarin
sembah sujudku untuk-Mu Nan Datu'
aku melangkah mundur membawa maaf untuk-Mu
*Renungan Semalam*
Langganan:
Postingan (Atom)