Selasa, 22 Februari 2011

gambar 6

gambar 5

gambar 4

gambar 3

gambar 1

gambar 2


tabel 1

KEGUNAAN ICT

PEMANFAATAN ICT DALAM PEMBELAJARAN
Ace Suryadi (drace@cbn.net.id)
Universitas Krisnadipayana
ABSTRACT
The conventional instruction which is characterized by, for example, seperating schools from
their environments, teachers as the only source of knowledge and quiet learning classrooms
is no more effective and even hampers the development of student’s potentials. The concept
of multiple intelligences and the new finding of human brain’s stratified structure implies a
new alternative of instruction in order to bring schools and the educational system in line with
new era’s up to date demands. The alternative involves the reform of instructional approach
and the information and communication technology (ICT) for education. The school reform
must be taken in the context of the education reform.
Keywords: education reform, ICT, multiple intelligences, school reform.
Sistem pembelajaran konvensional di sekolah kian diyakini sebagai sistem yang tidak efektif lagi. Konsep-konsep kemampuan otak, kecerdasan, dan kreativitas telah berkembang pesat dan makin menguatkan argumentasi yang ingin mengoreksi kelemahan sistem pembelajaran konvensional. Sistem pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri antara lain kelas yang tertutup di sekolah yang juga tertutup dari lingkungan sekitarnya; setting ruangan yang statis dan sangat formal; guru menjadi satu-satunya sumber ilmu dan pengetahuan bagi siswa dan mengajar secara linier; menggunakan papan tulis sebagai sarana utama dalam proses transfer of knowledge; mengupayakan situasi dan kondisi belajar yang hening untuk mendapatkan konsentrasi belajar yang maksimal; menggunakan buku wajib yang cenderung menjadi satu-satunya referensi yang sah di kelas; serta model ujian dengan soal-soal pilihan ganda (multiple choices) yang hasilnya menjadi ukuran kemampuan siswa. Semua aspek dalam proses pembelajaran itu kini dinilai mengandung banyak kelemahan yang bahkan secara agregatif menjadi kontraproduktif terhadap pengembangan diri dan intelektual siswa. Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences), yang dikemukakan oleh Howard Gardner pada 1983 (dalam Armstrong, 2004), dipandang sebagai konsep pendekatan pembelajaran yang lebih objektif dalam menggali atau mengembangkan kemampuan setiap individu siswa sesuai dengan potensi atau kecerdasan orisinalnya. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan orisinal (bakat) setiap individu itu berbeda-beda, yang dikelompokkannya ke dalam 8 jenis kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal, intrapersonal, interpersonal, dan naturalis. Oleh karena itu, menyeragamkan cara pembelajaran dengan satu pendekatan yang monoton dan statis—seperti dalam cara-cara belajar konvensional—tidak memberikan kondisi yang terbaik (optimum) untuk mengembangkan kemampuan semua siswa. Pendekatan kecerdasan majemuk dapat digunakan pada dua aspek, yaitu aspek metode pembelajaran dan aspek materi pembelajaran. Pada aspek metode, pendekatan yang dimaksud memungkinkan berkembangnya variasi cara belajar, yang pada akhirnya menciptakan kondisi belajar terbaik (optimum) bagi semua siswa. Sementara itu, pada aspek materi, pendekatan tersebut memperkaya materi pembelajaran yang akan mengembangkan kemampuan siswa seturut dengan potensi kecerdasan mereka masing-masing. Selama ini, fokus pendidikan umumnya sangat tertuju pada aspek kecerdasan linguistik atau kecerdasan matematis-logis semata, sehingga anak yang dianggap pandai atau pintar adalah yang memiliki nilai tinggi pada ilmu-ilmu hitung dan pasti, misalnya matematika, ilmu falak, kimia, atau fisika. Padahal, kemampuan-kemampuan lainnya juga penting, seperti kemampuan berkomunikasi bersosialisasi dan bergaul (kecerdasan interpersonal); mengasah intuisi, imajinasi dan angan-angan (kecerdasan spasial); mendorong tumbuhnya nilai-nilai kebanggaan, motivasi, idealisme dan integritas (kecerdasan intrapersonal); mencintai alam dan lingkungan (kecerdasan naturalis); aktif, cekatan, sehat dan enerjik (kecerdasan kinestetis-jasmani); mencintai dunia seni dan budaya (kecerdasan musikal). Saat ini, teori kecerdasan majemuk sudah mulai diaplikasikan dalam proyek-proyek pembaruan sekolah di beberapa negara. Di dunia persekolahan Indonesia sekarang galibnya dikenal terminologi-terminologi ‘belajar sambil bermain’, edutainment, belajar dengan alam, dan sebagainya, yang pada hakikatnya ingin menerapkan pendekatan kecerdasan majemuk tadi. Selaras dengan perkembangan berbagai teori dan konsep kecerdasan, berkembang pula pengetahuan mengenai faal dan kapasitas otak manusia. Pengetahuan mengenai otak manusia ini menjadi landasan berpikir bagi pengembangan berbagai teori/konsep kecerdasan. Misalnya, otak manusia diketahui terdiri dari otak kanan dan otak kiri, yang masing-masing memiliki penekanan fungsi yang berbeda. Otak sisi kiri bekerja antara lain untuk fungsi-fungsi berpikir logis/rasional (matematika), berbahasa (kata-kata), keteraturan (urutan), sedangkan otak sisi kanan untuk fungsifungsi visual (gambar), seni, irama, imajinasi, intuisi, berpikir acak (tidak teratur). Celakanya, ada kecenderungan bahwa praktik pendidikan di sekolah pada umumnya lebih menekankan pada pengembangan otak kiri. Padahal, otak kanan tidak kalah pentingnya, karena sangat berhubungan dengan pengembangan kreativitas (Buzan, 2003).
Pengetahuan lain yang juga penting mengenai otak ialah bahwa struktur otak manusia ternyata bertingkat-tingkat, mulai batang otak (otak reptil) di bagian bawah, otak mamalia di bagian tengah, sampai korteks di bagian atas (Buzan, 2003). Otak reptil berperan mengendalikan fungsi-fungsi naluriah tubuh, semisal bernapas dan bertahan (self-defense). Otak mamalia bekerja mengendalikan emosi dan memori. Korteks mengendalikan fungsi berpikir, bernalar, mendengar, dan mencipta. Jika situasi dan kondisi belajarnya tegang (stress), kita akan sulit berpikir (berkonsentrasi) karena situasi dan kondisi itu membuat otak reptil bekerja lebih dominan. Sementara itu, bila situasi dan kondisi belajarnya rileks, tenang dan menyenangkan, kita akan lebih mudah berpikir, karena otak reptil tidak bekerja sehingga situasi dan kondisi itu kondusif bagi bekerjanya korteks. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa sekolah yang umumnya lebih banyak menciptakan situasi dan kondisi yang tegang melalui formalitas dan tata aturan yang kaku dan keras itu kurang kondusif bagi proses pembelajaran.
Dryden dan Vos (2003), mengulas banyak hasil penelitian tentang otak dan kecerdasan yang dilakukan oleh para ahli seperti Ronald Kotulak (Inside the Brain), Tony Buzan (Make the Most of Your Mind), Robert Ornstein (The Amazing Brain), Howard Gardner (Frames of Mind), Marian Cleeves Diamond (Enriching Heredity). Hasil-hasil penelitian mereka makin membuka cakrawala pandang tentang perlunya penanganan pendidikan yang lebih kreatif dibandingkan dengan yang sekarang diberlakukan di sekolah-sekolah konvensional. Pendidikan yang lebih kreatif dimaksudkan untuk memberikan rangsangan-rangsangan berpikir yang lebih dinamis guna membangun koneksi- koneksi sel otak aktif (neuron). Koneksi-koneksi itu (disebut juga koneksi belajar atau sinapsis) akan
membentuk kemampuan berpikir manusia sehingga makin banyak koneksi yang dapat dibangun makin tinggi kemampuan berpikir (makin cerdas, makin kreatif). Koneksi-koneksi terjadi bila kita menggunakan dan melatih otak kita, yaitu manakala kita dapat menciptakan arti pada apa yang kita pelajari atau kita pikirkan (Gunawan, 2007). Dengan 100 milyar sel aktif (otak manusia) dan 20.000 kemungkinan kombinasi koneksi per selnya, dapat kita bayangkan betapa besar potensi (kapasitas berpikir) otak kita. Guru besar Universitas Stanford, Robert Ornstein, mengatakan jumlah koneksi itu diperkirakan lebih banyak daripada jumlah atom di jagad raya ini (Dryden & Vos, 2003). Sekarang, kita baru menggunakan sebagian kecil dari kapasitas itu (di bawah 10%). Tony Buzan, seorang pakar ternama di bidang memori dan kecerdasan, menyatakan bahwa untuk dapat memanfaatkan kapasitas otak kita itu, kita harus memahami dulu bagaimana cara otak bekerja (Dryden & Vos, 2003). Langkah ini dapat dimulai dengan mempelajari struktur dan komponen otak, cara kerja memori, cara konsentrasi bekerja, cara kerja proses berpikir kreatif. Kegiatan ini merupakan bagian dari usaha untuk mengeksplorasi diri supaya kita lebih mengenal diri kita sendiri dan mengetahui potensi kita, kelemahan dan kekuatannya, dalam rangka mendapatkan cara-cara atau strategi-strategi belajar yang paling optimum bagi diri kita. Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir adalah dua ‘mata pelajaran’ yang harus menjadi inti persekolahan dan juga mesti diintegrasikan ke dalam seluruh pelajaran sekolah.
Konsep-konsep dan teori-teori mutakhir mengenai otak dan kecerdasan tersebut memperkaya pemikiran kita dan sangat bermanfaat untuk memperbarui system pembelajaran atau mencari model persekolahan terbaik di masa depan. Kurikulum atau strategi pembelajaran sendiri sudah mulai berkembang sejak zaman Eropa kuno (Dryden & Vos, 2003). Dryden dan Vos mengelompokkan kurikulum jadi empat mazhab, yaitu esensialisme, ensiklopedisme, model pendidikan yang menghubungkan indera dengan pembelajaran, dan apa yang disebut sebagai kurikulum pragmatis. Sebagai alternatif dari keempat mazhab itu, timbullah sebuah mazhab yang hendak mengombinasikan unsur-unsur terbaik dari keempatnya. Diyakini bahwa dengan memadukan sistem-sistem terbaik yang telah terbukti berhasil itu, kita akan mampu menghasilkan lulusan sekolah yang mampu membaca; menulis; memahami matematika, sejarah, geografi, fisika, musik; dan juga memiliki kemampuan bertindak, belajar, berpikir dan mengelola kehidupan untuk masa depan secara mandiri. Kemampuan yang disebut terakhir sangat dibutuhkan mengingat perubahan dalam kehidupan masyarakat berlangsung secara terus-menerus, sangat dinamis dan cepat.

Perubahan yang cepat pada masa sekarang ini disebabkan terutama oleh kemajuan teknologi. Teknologi dapat dianggap sebagai katalis perubahan, yakni membuat perubahan jadi revolusioner, sangat cepat dan intensif. Dalam dunia pendidikan dan pengetahuan, revolusi ini sedang berlangsung dan berdimensi ganda, yaitu menghubungkan penelitian otak modern yang mengagumkan dengan kekuatan informasi dan pengetahuan yang dapat diakses secara cepat dan mudah melalui teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology,ICT).
Revolusi gabungan internet-komputer-World Wide Web (www) telah membentuk enerasi baru dengan nilai-nilai baru, gaya pergaulan baru, budaya baru, bahkan ekonomi baru yang disebut sebagai ekonomi digital. Komunikasi dan akses informasi menjadi serba instan, cepat dan mudah, sehingga aktivitas-aktivitas seperti perdagangan dan pendidikan dapat dilakukan secara bersamaan dengan sebuah komputer pribadi. Revolusi digital memicu munculnya pemikiran ulang tentang metode belajar dan mengajar. ”Sistem pendidikan tradisional telah usang”, demikian penilaian Arthur Andersen, sebuah grup konsultan raksasa Amerika. Dryden dan Vos (2003) juga mengutip pendapat Peter F. Drucker, pakar manajemen terkemuka, bahwa bangsa yang benar-benar memanfaatkan ledakan komunikasi digital, dan menghubungkannya dengan teknik-teknik pembelajaran baru, niscaya akan memimpin dunia di bidang pendidikan. Singapura merupakan contoh negara yang cepat bereaksi dan berkomitmen melalui program dan anggaran—untuk membangun jaringan elektronik yang menghubungkan masyarakat umum, pemerintah, dunia bisnis, dan sekolah. Dryden dan Vos (2003) mengimbuhkan bahwa pada awal 1997 negara ini menganggarkan rencana induknya (berjangka lima tahun) sebesar hampir 1,5 milyar dolar Amerika untuk menerapkan teknologi informasi interaktif terbaik di dunia pada system persekolahannya. Singapura mungkin menjadi negara terdepan dalam menghubungkan pendidikan industri internasional berteknologi tinggi, dan dunia kerja.

REFORMASI PEMBELAJARAN
Berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang sistem pendidikan atau model pembelajaran yang terbaik untuk masa depan—yang didahului dengan berkembangnya teori dan pengetahuan mengenai otak dan kecerdasan manusia—pada dasarnya merupakan dinamika dari obsesi untuk menggelar reformasi pembelajaran (school reform). Amerika Serikat, sebagai sebuah negara yang sering dijadikan ukuran dalam kemajuan di berbagai bidang, sudah mulai merasakan kebutuhan akan school reform, bahkan education reform, sejak akhir 1980-an. Saat itu, masyarakat Amerika menganggap sistem pendidikan yang tengah berlaku tidak mampu lagi mengikuti kemajuan bidangbidang lainnya, khususnya dunia kerja (bisnis) (Means, 1993). Standar-standar pendidikan sudah mengalami erosi dan mengancam masa depan negara Amerika dan warganya. Pernyataan Smith dan O'Day (dalam Means, 1993) tentang perlunya perubahan fundamental dan komprehensif dalam sistem pendidikan adalah respons terhadap tuntutan masyarakat Amerika untuk memperbarui pendidikan mereka. Keinginan untuk melakukan perubahan fundamental dan inovasi sebagai upaya reformasi pendidikan didukung oleh banyak pihak yang berkepentingan (stake holders) seperti para gubernur dan legislator, koalisi-koalisi bisnis, dan juga para pendidik termasuk asosiasi guru, lembaga-lembaga pendidikan, dan para administrator sekolah. Selanjutnya, merebaklah perdebatan serius di antara para pendidik, penentu kebijakan, dan warga negara, mengenai bentuk reformasi struktural yang paling ideal. Dari teori-teori yang berkembang dan praktik-praktik di berbagai negara, dan dalam rangka melaksanakan gerakan pembaruan pendidikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua aspek pembaruan yang penting, sebagai berikut:

1. Pembaruan pendekatan pembelajaran, yang menyangkut esensi, materi dan metode pembelajaran.
Pembaruan ini dilantari oleh berbagai temuan/teori/konsep baru yang berkembang mengenai otak dan kecerdasan, dan dipicu oleh perubahan multidimensional dalam lingkungan hidup dan kehidupan yang menuntut komitmen dan kemampuan manusia (SDM) yang makin tinggi,
2. Pemanfaatan teknologi informasi/komunikasi yang sudah sedemikian canggih untuk menunjang keberhasilan pembaruan strategi dan teknik pembelajaran.
Kedua aspek pembaruan tersebut menyatu dalam semangat dan misi untuk melakukan reformasi pembelajaran (school reform), bahkan reformasi pendidikan (education reform). Reformasi ini niscaya melibatkan aspek-aspek yang lebih luas, seperti pembaruan kelembagaan, peraturan/legislasi, manajemen, pembiayaan, dan sumber daya manusia. Semua ini hanya dapat dilakukan dengan landasan komitmen politik (political will) negara untuk memajukan pendidikan.

PEMBARUAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Dryden dan Vos (2003) menyimpulkan dari hasil penelitian dan observasi mereka di seluruh dunia bahwa dalam setiap sistem pendidikan yang terbukti berhasil, citra diri ternyata lebih penting dari pada materi pelajaran. Tolok ukur sesungguhnya dari sistem pendidikan masa depan, dengan demikian, adalah seberapa besar mampu membangkitkan gairah belajar secara menyenangkan. Hanya dengan pendekatan inilah, setiap siswa akan terdorong untuk membangun citra diri positif yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Menurut Dryden dan Vos, kurikulum pendidikan sebaiknya disusun dalam empat tingkat, dan keempatnya saling mendukung dan melengkapi, sebagai berikut.
1. Citra diri dan perkembangan pribadi
2. Pelatihan keterampilan hidup
3. Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir
4. Kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifi

Gunawan (2007), yang menggunakan istilah konsep diri (self-concept) untuk istilah citra diri, mengulas pentingnya sikap mental tersebut dalam menunjang keberhasilan belajar. Konsep diri ini sebenarnya menjelaskan bahwa seseorang harus memiliki ukuran/potret diri, kepercayaan diri, dan harga diri yang tinggi. Ia harus memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu meraih keberhasilan. Celakanya, konsep diri ini kurang diperhatikan oleh sekolah dan lingkungan keluarga. Biro konseling yang ada di tiap sekolah cenderung bersikap pasif dan kurang efektif. Bahkan praktik pendidikan itu sendiri, baik di sekolah, di masyarakat, maupun di rumah, cenderung menumbuhkan sikap mental negatif. Predikat anak pandai dan anak bodoh yang diukur sekadar berdasarkan nilai nilai mata pelajaran melahirkan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan citra diri/konsep diri. Salah satu cara yang sangat baik untuk mengatasi masalah ini adalah menerapkan teori kecerdasan majemuk dalam praktik pendidikan (Gardner, 1983). Teori kecerdasan majemuk mengakui dan menghargai keberagaman potensi kecerdasan setiap anak, dan memberi kesempatan untuk mengembangkan potensi tersebut secara maksimal. Selanjutnya, akan dibahas kurikulum empat tingkat usulan Dryden dan Vos (2003). Pertama citra diri harus dikembangkan dalam perspektif peran dan fungsi manusia sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu mandiri dan makhluk sosial, serta sebagai unsur produksi. Sebagai makhluk Tuhan, manusia mesti selalu bertindak dan mengerjakan sesuatu atas nama keimanannya dan, konsekuensinya, dengan motif ibadah. Sebagai individu, ia harus dapat mengenali diri, menemukan jati diri, memahami kelemahan dan kekurangannya, dalam rangka membangun karakter dan mengembangkan potensi diri untuk berkarya. Sebagai makhluk sosial, ia harus memahami nilai-nilai sosial, dan senantiasa termotivasi untuk berkarya dalam konteks kebersamaan sosial. Sebagai unsure produksi, ia selalu tergerak untuk berprestasi secara produktif, kreatif, inovatif, dan ekonomis. Proses membangun citra diri/konsep diri yang melibatkan perspektif-perspektif itu, apabila berhasil, akan mampu membuat dirinya jadi manusia yang disebut oleh Covey (1994) sebagai manusia efektif (effective people). Substansi pendidikan harus mengintegrasikan esensi, materi dan metode pendidikan yang mengarah pada pengembangan citra diri dan pribadi agar menjadi manusia efektif. Alhasil, efektivitas pendidikan dapat diukur antara lain dari pencapaian proses pembelajaran hingga ke tingkat pemahaman, kesadaran, dan penghayatan siswa atas citra diri dan perilaku positif. Inilah tantangan reformasi pendidikan yang pertama dan utama. Kedua, keterampilan hidup yang secara sempit diartikan sebagai keterampilan praktis yang berkaitan dengan dunia kerja (kecakapan vokasional), dan secara luas sebagai kecakapan hidup (life skills). Dalam buku pedoman pendidikan kecakapan hidup Departemen Pendidikan Nasional (2003),

kecakapan hidup didefinisikan sebagai seperangkat kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani menghadapi permasalahan hidup dan kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan; kemudian secara mandiri, proaktif, dan kreatif mencari dan menemukan jalan keluar atau solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi permasalahan hidup dan kehidupan. Kecakapan hidup dikelompokkan jadi dua, yaitu kecakapan hidup generik dan kecakapan hidup spesifik. Kecakapan hidup generik dibagi jadi kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan hidup spesifik diperinci jadi kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Walaupun pendidikan umum (SD, SMP, SMA) lebih mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (lebih menitikberatkan pada kecakapan akademik), kecakapan vokasional tetap dapat diberikan sesuai dengan minat siswa dan kondisi setempat, untuk mengantisipasi siswa yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, dan ingin langsung bekerja. Ketiga, belajar tentang cara belajar dan cara berpikir. Keduanya termasuk hal yang paling mendasar harus diberikan kepada anak didik. Tujuan dari belajar tentang cara belajar dan berpikir adalah memahami berbagai pengetahuan perihal otak dan kecerdasan, serta teknik-teknik untuk melatih kemampuan berpikir efektif. Aneka nama dari teknik tersebut telah diperkenalkan di dunia pendidikan, seperti accelerated learning (belajar cepat), super learning, suggestopedia, whole-brain learning, dan integrated learning. Nama-nama ini umumnya berkarakter sama, yaitu mendorong anak-anak untuk memanfaatkan seluruh ‘kecerdasan’ dan indera mereka untuk belajar dengan lebih baik, melalui musik, irama, rima, gambar, perasaan, emosi, dan tindakan (Dryden & Vos, 2003). Selain itu, telah diperkenalkan pula metode-metode melatih keterampilan berpikir oleh sejumlah pakar antara lain: Lateral Thinking (Edward de Bono), Brainstorming (Alex Osborn), Creative Problem Solving (Donald Treffinger), Technology for Creating (Robert Fritz), Higher Order Thinking Skills/HOTS (Stanley Pogrow), Superbrain (Dilip Mukerjea), dan Talents Unlimited (Calvin Taylor).

Metode-metode tersebut jamaknya sederhana, menyenangkan, dan efektif. Jika pengembangan citra diri, kecakapan hidup, dan cara belajar/berpikir lebih menekankan pada aspek-aspek fundamental dari seorang anak didik (aspek esensi dan metode), tingkat keempat (yaitu mengembangkan kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik) lebih menekankan pada aspek materi pembelajaran yang bersifat praktis untuk menguasai keahlian tertentu. Ide-ide tentang pembaruan pembelajaran, yang juga disertai dengan praktik-praktik eksperimen atau pelaksanaannya di beberapa negara, pada intinya bermuara pada sebuah semangat bersama dan common sense untuk melakukan reformasi pembelajaran. Hasil reformasi akhirnya harus dapat dilihat pada apa yang telah dicapai oleh anak didik dalam kerangka peningkatan kemampuan belajar untuk menguasai kecakapan/keahlian yang lebih tinggi, peningkatan motivasi dan konsep diri (self-concept). Beberapa pemikiran yang menonjol tentang reformasi pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 1. Means (1993) menyatakan bahwa katalis untuk transformasi pembelajaran ialah pemusatan berbagai aspek pembelajaran di sekitar tugas-tugas autentik yang menantang. Tugas-tugas autentik menggantikan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan subjek individual atau suatu kecakapan diskrit, yang tidak memiliki hubungan jelas dengan dunia nyata dimana anak-anak beraktivitas di luar sekolah.

Table

Gambar 1



Dalam Gambar 1 aktivitas-aktivitas pembelajaran dan fungsi-fungsi yang merupakan strategi atau metode efektif berpusat atau berorientasi pada tugas-tugas autentik yang menantang. Tugas autentik (authentic tasks) adalah tugas-tugas yang diberikan kepada siswa dalam bentuk proyek, yang bisa berupa pengkajian, penelitian, atau penyelesaian masalah, yang cenderung kompleks dan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Sebagai ilustrasi, apabila siswa diberikan tugas untuk menjelaskan fenomena iklim (sebutlah ‘proyek iklim’), aktivitas-aktivitas yang mungkin akan dilakukan siswa adalah sebagai berikut.
1. Mencari referensi atau sumber pengetahuan yang berkaitan dengan iklim (melakukan eksplorasi). Ia akan mengulik berbagai dimensi/aspek yang berkaitan dengan iklim, seperti wilayah geografi, dimensi waktu, implikasi lingkungan (biologis dan fisik), pengaruh atau intervensi manusia (aspek sosial), kalkulasi dan aspek kuantitatif (matematika). Jadi, ia akan masuk ke dalam frame-work pemikiran dan pendekatan yang multidisiplin. Siswa juga dapat terjun ke lapangan untuk mengamati dan mendata.

2. Membuat gambar, sketsa, mapping, matriks, catatan-catatan, dan seterusnya untuk memformulasikan pemikirannya dan mengonstruksinya jadi sebuah ide atau materi yang akan disampaikannya dalam penjelasan. Di sini ia tidak saja mencoba melakukan pendataan (pencatatan) dan analisis, tetapi juga melatih menggunakan suatu media atau alat bantu belajar/bekerja (misalnya komputer dan aplikasi-aplikasinya). Ini merupakan proses menempa kecakapan akademik dan keterampilan-ketrampilan teknis yang relevan.
3. Berdiskusi, berdebat, bertanya, bertukar pikiran, dan membagi pekerjaan dalam sebuah tim belajar atau kerja. Ini disebut proses belajar kolaboratif yang sangat ideal dan menyenangkan untuk dikerjakan. Dalam tim itu, akan diakomodasi berbagai tingkat kemampuan dan kapasitas individual siswa, karena pembagian tugas akan otomatis diatur selaras dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing anggota. Inilah mekanisme kerja kelompok yang mengakomodasi heterogenitas.

4. Dalam melakukan tugasnya itu, siswa dapat tetap melakukan komunikasi dengan gurunya, dalam rangka bertanya, minta tanggapan atau informasi, atau berbagai hal yang berkaitan dengan peran guru sebagai fasilitator.

5. Guru juga dapat mengamati dan menilai proses dan dinamika kerja para siswa, dari perencanaan hingga penyampaian hasilnya. Ini bagian dari proses penilaian atau evaluasi berbasis kinerja (performance-based assessment).

6. Aktivitas-aktivitas yang pada dasarnya merupakan proyek kerja siswa itu hanya dapat dilakukan dalam suatu periode waktu tertentu yang ekstensif tetapi terjadwal/terprogram (extended blocks of time). Aktivitas-aktivitas ini tidak mungkin dilakukan dalam blok-blok waktu yang ketat dengan jadwal belajar yang konvensional. Proses serangkaian aktivitas siswa itu merupakan contoh aplikasi dari model dalam

Gambar 1. Proses belajar semacam itu merupakan proses belajar ideal dan sangat kondusif dalam membawa setiap siswa pada penguasaan kemampuan akademik sekaligus pencapaian motivasi dan konsep diri (self-concept) yang efektif, sebuah hasil yang ingin dicapai dari reformasi pembelajaran (Becker, 1994).


PEMANFAATAN TEKNOLOGI
Seperti telah dibahas, pembaruan pendidikan sudah dilaksanakan di banyak negara. Pembaruan itu selalu melibatkan pemanfaatan teknologi yang menjadi bagian integral dari pembaruan pembelajaran. Berikut ini adalah contoh komitmen dari dua negara di Asia dan Amerika Serikat yang mempersiapkan teknologi informasi sebagai bagian dari proses pembelajaran modern. Contoh ini dikutip dari buku yang ditulis oleh Dryden dan Vos (2003) dan laporan riset yang ditulis oleh Reeves (1998):


Gambar 2 (AMERIKA CINA DAN SINGAPURA)


Means (1993) dalam laporan penelitian mereka menerangkan bahwa kebutuhan masyarakat persekolahan untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran merupakan bagian dari reformasi pembelajaran. Kebutuhan untuk memanfaatkan teknologi itu mula-mula dipengaruhi oleh fakta-fakta yang terjadi di komunitas luar sekolah (bisnis, pemerintahan, dan masyarakat umum) yang sudah lazim menggunakan teknologi dalam aktivitas berkomunikasi, mencari informasi, dan aktivitas komersial. Fakta itu menjadi seperti sebuah tekanan terhadap komunitas sekolah untuk juga menggunakan teknologi agar para siswa familier dengan teknologi. Pada perkembangan selanjutnya karena pengaruh kemajuan aplikasi teknologi yang makin canggih, teknologi menjadi suatu media dan alat yang dipandang sangat penting dan strategis untuk menunjang pencapaian tujuan reformasi pembelajaran. Inti dari proses reformasi pembelajaran berkisar pada pemusatan berbagai aspek pembelajaran pada tugas-tugas autentik, untuk menggantikan pembelajaran subject oriented yang monoton, statis, dan tertutup dalam pembelajaran konvensional (lihat Tabel 1 dan Gambar 1). Tugas autentik biasanya cenderung kompleks dan menantang karena berupa proyek untuk merampungkan suatu kasus atau penyelesaian masalah dengan menggunakan pendekatan multidisiplin (lihat definisi di depan). Contoh tugas autentik sudah diilustrasikan cukup jelas dengan ‘proyek iklim’. Teknologi informasi dan komunikasi mutakhir yang telah berkembang sejauh ini sudah sangat memadai untuk dapat memfasilitasi, membekali, memudahkan beragam pekerjaan siswa seperti dalam proyek tersebut. Berbagai macam pekerjaan, seperti eksplorasi, pencatatan, pendataan, penghitungan atau pengolahan data, analisis, penggambaran, visualisasi, dan pengemasan dalam format akhir laporan, dapat dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi ensiklopedia (interactive CD-ROM, multimedia), world-wide-web, pengolah kata, spreadsheet, graphic design, presentation tools, dan sebagainya. Sementara interaksi dalam bertukar pikiran antarsiswa dan antara siswa dan guru, atau wawancara dengan nara sumber, searching, dan lain-lain, dapat dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi networking seperti e-mail, world-wideweb, chat, voicemail, dan tele-conference. Menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran niscaya mempunyai kelebihan, yakni mempermudah dan mempercepat kerja siswa (mengefisienkan), juga menyenangkan karena siswa berinteraksi dengan warna-warna, gambar, suara, video, dan sesuatu yang instan. Situasi dan kondisi yang menyenangkan ini sebenarnya menjadi faktor yang sangat penting dan esensial untuk mencapai efektivitas belajar. Di sini teknologi mampu membangkitkan emosi positif dalam proses belajar. Gunawan (2007) menulis, dengan mengutip hasil temuan para ahli mengenai hubungan antara gelombang otak dan emosi dengan proses menyerap informasi, bahwa frekuensi gelombang otak berbeda-beda pada setiap kondisi, misalnya pada saat tidur, setengah tidur, rileks, serius dan tegang. Para peneliti yakin bahwa kondisi otak yang rileks tetapi waspada adalah kondisi yang terbaik bagi otak untuk menyerap informasi dengan cepat dan efektif. Ukuran gelombang otak pada kondisi itu, yang disebut kondisi alfa, adalah 8-12 Hz (optimum 10,5 Hz). Temuan ini menjelaskan bahwa situasi dan kondisi yang menyenangkan pada saat belajar dapat membuat otak rileks tetapi waspada. Para ahli juga menyebut kondisi seperti itu sebagai kondisi tempat emosi positif timbul. Timbulnya emosi positif akan meningkatkan perhatian dan konsentrasi otak, sehingga informasi mudah diserap. Sebaliknya, proses belajar jangan sampai terjadi pada kondisi emosi negatif. Contoh emosi negatif adalah rasa sedih atau tegang (stress). Sistem sekolah atau pendidikan konvensional pada umumnya cenderung menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan emosi negative timbul ketimbang emosi positif. Selain membantu menciptakan kondisi belajar yang kondusif bagi mental siswa, peran penting kedua dari teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran adalah menyediakan seperangkat media dan alat (tools) untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan siswa, serta tentu saja memberi keterampilan penggunaan teknologi tinggi (advanced skills). Menurut Reeves (1998), untuk kepentingan pembelajaran di sekolah, terdapat dua pendekatan pokok dalam penggunaan teknologi, yaitu para siswa dapat belajar ‘dari’ dan ‘dengan’ teknologi. Belajar ‘dari’ teknologi dilakukan seperti dalam penggunaan computer-based instruction (tutorial) atau integrated learning systems. Belajar ‘dengan’ teknologi adalah menggunakan teknologi sebagai cognitive tools (alat bantu pembelajaran kognitif) dan menggunakan teknologi dalam lingkungan pembelajaran konstruktivis (constructivist learning environments). Reeves (1998) memilah kedua pendekatan penggunaan teknologi itu untuk mengkaji signifikansi manfaat dari keduanya terhadap proses pembelajaran. Sekolah-sekolah yang menjadi objek kajian adalah public schools K-12 (TK-SMA). Hasil penelitian dengan kedua pendekatan itu diringkas sebagai berikut.



GAMBAR 3
GAMBAR 4


Reeves (1998) juga memaparkan hasil investigasi 10 tahun oleh proyek Apple Classrooms of Tomorrow (ACOT), dan menyimpulkan bahwa inovasi-inovasi pedagogis dan hasil-hasil positif pembelajaran dapat diperoleh dengan penerapan teknologi (ICT) di sekolah. Dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam proses pembelajaran, para ahli meneliti dan mengembangkan berbagai model. Gambar 2 adalah model yang dikemukakan oleh Woodbridge (2004) dan dimodifikasi/dikembangkan lebih lanjut oleh penulis. Beberapa catatan penting dari model tersebut adalah sebagai berikut.

1. Teknologi (ICT) berperan pada tiga fungsi: pertama, menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dan mengasyikan (efek emosi); kedua, membekali kecakapan siswa untuk menggunakan teknologi tinggi. Ini menjawab tantangan relevansinya dengan dunia di luar sekolah. Ketiga, teknologi berfungsi sebagai learning tools dengan program-program aplikasi dan utilitas, yang, selain mempermudah dan mempercepat pekerjaan, juga memperbanyak variasi dan teknik-teknik analisis dan interpretasi.

2. Emosi positif, keterampilan menggunakan teknologi, dan kecakapan dalam memanfaatkan program-program dan utilitas itu merupakan bekal dan conditioning yang positif bagi pengembangan kemampuan intelektual siswa melalui:
a. pengembangan kemampuan mencipta, memanipulasi, dan belajar
b. berlatih dengan tugas-tugas yang berbasis penyelesaian masalah
c. membangun lingkungan belajar konstruktivis



GAMBAR 5






REFORMASI PENDIDIKAN
Dunia pendidikan harus melakukan modernisasi dengan melakukan inovasi-inovasi yang memang relevan untuk menghadapi tantangan masa depan. Di masa mendatang, kita menghadapi dinamika perubahan yang makin cepat, intensif, dan kompleks; munculnya berbagai masalah yang makin serius akibat kerusakan lingkungan hidup, eksploitasi sumber daya alam, ketimpangan kemakmuran, ketidakadilan, agresi politik, kompetisi. Semua masalah ini membutuhkan pemikiran dan tindakan yang makin cerdas, kreatif, kritis, dan bijaksana. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan yang baik, yaitu yang dapat menghasilkan manusia-manusia yang tidak saja mampu berpikir dan bertindak responsif, tetapi juga antisipatif dan proaktif terhadap perubahan.

GAMBAR 6

Reformasi pembelajaran pada hakikatnya ingin memperbaiki cara-cara belajar di sekolah atau di mana pun agar anak-anak didik kita lebih cerdas, kreatif, kritis, dan bijaksana dalam berpikir dan bertindak, daripada anak-anak didik yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah konvensional. Dengan reformasi ini, kita berharap anak-anak didik kita lebih mampu mengenali diri mereka, menumbuhkan karakter dan pribadi mereka secara mandiri (self concept), dan mengembangkan kemampuan intelektualnya dalam konteks kekinian yang dinamis dan progresif, sehingga mereka sanggup survive, bahkan leading dalam persaingan. Ada dua elemen reformasi pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran, yakni pembaruan pendekatan pembelajaran dan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran. Namun, reformasi pembelajaran tampaknya hanya efektif bila dilakukan dalam kerangka reformasi pendidikan. Artinya, reformasi pembelajaran membutuhkan upaya yang lebih sistematis dan melibatkan struktur yang lebih luas. Kita tidak dapat hanya memberikan perlakuan (treatment) pembaruan pada tingkat pembelajaran siswa di kelas dengan kurikulum baru atau teknologi canggih (Means, 1993). Kelas berada dalam struktur sekolah yang memiliki organisasi, aturan, dan agenda, tempat pemimpin sekolah, administrator, guru, dan siswa berinteraksi untuk menjalankan fungsi sekolah sebagai pusat pembelajaran. Sementara itu, keberadaan dan fungsi sekolah bergantung pada kebijakan, sumber daya, batasan-batasan, dan mandat dari pemerintah daerah maupun pusat. Means (1993) menggambarkan struktur yang lebih luas itu dimodifikasi oleh penulis), yang menjelaskan hubungan antarlevel dan prinsip-prinsipnya. Reformasi di tingkat kelas, dengan berbagai aktivitasnya, dilakukan dengan komitmen sekolah untuk melakukan pembaruan. Sekolah harus mendeskripsikan tujuan-tujuan pembaruan secara jelas dan mengomunikasikan mereka kepada para guru, murid, dan wali murid. Maka, di sini dibutuhkan konsensus mengenai apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mengukur keberhasilan pencapaiannya. Membangun kultur sekolah yang kondusif dimulai dengan membangkitkan dan meneguhkan semangat dan motivasi semua sivitas sekolah untuk melakukan pembaruan. Langkah ini diikuti dengan mengembangkan nilai-nilai baru dan ekspektasi yang tinggi akan perubahan perilaku. atmosfir pergaulan dan hubungan kerja yang hangat dalam suasana saling membutuhkan dan menguntungkan, dan, terakhir, dengan memperhatikan dan mengaitkan kehidupan siswa di rumah dengan kultur masyarakat. Masih dalam karya yang sama, Means (1993) juga menekankan pentingnya desentralisasi di tingkat sekolah agar sekolah mampu membuat keputusan sendiri dan memiliki tanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya. Site-based management ini memerlukan kepemimpinan (leadership) yang kuat di sekolah, dan pimpinan sekolah dan guru-guru bertanggung jawab terhadap manajemen sekolah untuk bekerja sama mengembangkan kurikulum baru, mengevaluasi, dan berbagi pengetahuan baru.
Reformasi pembelajaran memberi para guru tanggung jawab dan otoritas yang jauh lebih besar (Means, 1993). Profesionalitas guru, pertama-tama, mensyaratkan jiwa kepemimpinan untuk menentukan apa dan bagaimana ia membawa siswa ke dalam proses pembelajaran yang bermakna (meaningful tasks). Seorang guru harus mampu menjadi sumber pengetahuan dan mendemonstrasikan kemampuan intelektualnya dalam membimbing siswa mencapai tujuan tertentu. Jadi, guru akan berperan sebagai pemimpin (leader), manajer sekaligus fasilitator, yang harus mampu menciptakan kondisi dan tugas belajar yang menarik, rangsangan-rangsangan belajar dan inovasi-inovasi pembelajaran, dan ikut bertanggung jawab untuk mengembangkan karakter dan kepribadian siswa yang mungkin amat heterogen di kelas. Tuntutan untuk bertanggung jawab dan mempunyai skill tinggi itu, membuat guru harus diberi kesempatan seluas luasnya untuk mengikuti pelatihan dan memperoleh masukan (feedback) dalam mengimplementasikan pembaruan pembelajaran (Means, 1993).

Reformasi pendidikan untuk memandirikan pengelolaan sekolah membutuhkan dukungan politik, misalnya pendelegasian wewenang, peraturan/perundang-undangan yang relevan, dukungan pembiayaan dan sumber daya lainnya, dan pengembangan kapasitas (capacity building) sekolah agar sekolah menjadi institusi yang mandiri, cakap, dan kreatif dalam untuk melaksanakan pembaruan.

Peran pihak-pihak eksternal (external players) dalam komunitas pendidikan dibutuhkan, selain untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, juga untuk membantu menghasilkan lulusanlulusan yang cakap, bermutu, dan kompetitif. Dengan demikian, dalam reformasi pendidikan, mereka turut memberikan tekanan, pemikiran, evaluasi, dan dukungan agar reformasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Yang termasuk dalam pihak eksternal adalah kalangan industri teknologi, yang, dengan kekuatan modalnya, terus melakukan riset dan pengembangan teknologi canggih juga
untuk kepentingan di bidang pendidikan.













PENUTUP
Reformasi pembelajaran dibutuhkan untuk melakukan pembaruan sistem pembelajaran konvensional yang dinilai sudah usang dan tidak relevan dengan dinamika perubahan zaman yang makin cepat dan intensif. Dinamika perubahan itu dipacu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sistem pendidikan lama dianggap tidak lagi mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman baru.

Penulis mencatat sembilan poin penting (key words) untuk melakukan reformasi
pembelajaran yang efektif, sebagai berikut:
1. penekanan aspek mental dan pribadi; telah diyakini bahwa citra diri, atau konsep diri (selfconcept), adalah faktor penentu kesuksesan pembelajaran anak didik. Mengembangkan citra diri/konsep diri berarti membangun karakter dan pribadi siswa—melalui proses pengenalan diri untuk menumbuhkan kepercayaan diri, kemampuan mengendalikan diri, dan mengatur dirinya dalam merencanakan dan melakukan proses belajar.

2. memahami cara belajar dan cara berpikir; pemahaman ini merupakan dasar-dasar bagi proses belajar selanjutnya, agar siswa memahami bagaimana melakukan pembelajaran yang efektif. Disini siswa akan berlatih keterampilan berpikir dan berpikir kreatif.

3. orientasi pada kecakapan hidup; merupakan pendekatan komprehensif untuk menempa kecakapan siswa yang relevan dengan hidup dan kehidupan. Siswa, selaras dengan tujuan atau cita-citanya (pilihan bidang studi), harus memahami apakah ia akan lebih mengutamakan pengembangan kemampuan akademik atau kemampuan vokasional.

4. mendorong lingkungan belajar konstruktivis; pendekatan ini dilandasi oleh teori yang menekankan pentingnya peran indera dalam proses belajar, dan juga oleh filsafat konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan/pemahaman akan terbentuk (efektif) melalui pengalaman-pengalamannya sendiri, setelah siswa melakukan tindakan/kegiatan terhadap suatu objek (untuk pengetahuan fisis, matematis, logis) atau melakukan interaksi dengan orang lain (pengetahuan sosial) (Suparno, 1997).

5. memasukan aspek kecerdasan majemuk dalam pembelajaran; berdasarkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences), proses pembelajaran dapat dikembangkan, dari segi materi (untuk mengembangkan potensi orisinil atau ‘bakat’ siswa) maupun dari segi metode (untuk memberikan kondisi belajar terbaik bagi kelas yang heterogen).

6. menekankan tugas-tugas autentik daripada subyek invidual; kelebihan tugas-tugas autentik adalah berbasis kasus/masalah dengan tujuan yang jelas, melalui proses pembelajaran bermakna (meaningful learning) sehingga tugas-tugas autentik menjadi lebih menarik, menantang dan merangsang pemikiran, akomodatif terhadap heterogenitas, dapat dilakukan dengan berkolaborasi, dan multidisiplin.

7. guru sebagai fasilitator, bukan sumber tunggal pengetahuan; dinamika dan intensitas proses pembelajaran dikendalikan sendiri oleh siswa (prinsip kemandirian), tetapi tetap dikelola oleh guru yang berperan sebagai pemimpin (leader), manajer sekaligus narasumber.

8. mengintegrasikan teknologi; signifikansi peran positif teknologi (ICT) dalam proses pembelajaran makin dipahami dan disadari. Siswa dapat belajar “dari” teknologi (CBI) dan “dengan” teknologi (constructivist learning tools). Teknologi juga memberikan kesenangan, kemudahan, dan kecepatan dalam belajar, dan melibatkan siswa dalam kecanggihan dan kemutakhiran teknologi (advanced skill).

9. dukungan politik, manajemen, dan sumber daya; faktor-faktor ini diperlukan karena reformasi pembelajaran pada hakikatnya harus dipahami sebagai upaya pembaruan pendidikan yang fundamental dan struktural, atau dengan kata lain, harus dilakukan dengan semangat dan kerangka pemahaman untuk melakukan ‘reformasi pendidikan’.

Sekali lagi, reformasi pembelajaran harus dipahami dengan semangat dan kerangka pemahaman melakukan ‘reformasi pendidikan’, karena pada kenyataannya pembaruan sekolah melibatkan sistem yang lebih luas, termasuk komitmen politik pemerintah. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, sedang merencanakan perubahan sistem pendidikan nasional secara fundamental dan struktural, sebagai penyempurnaan dan tindak lanjut dari UU Sisdiknas No. 20/2003, dan juga UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No. 25 yang mengatur kewenangan daerah otonom. Perubahan ini pada intinya merupakan upaya untuk melakukan reformasi pendidikan yang mendorong terciptanya sekolah-sekolah yang mandiri (otonom) dan mampu mengembangkan diri guna mencapai keunggulan mutu pendidikan.








REFERENSI
Armstrong, T. (2004). Sekolah para juara. Bandung: Kaifa.
Becker, H.J. (1994). Analysis and trend of school use of new information technology. California:
University of California, Departement of Education.
Buzan, T. (2003). Sepuluh cara jadi orang yang cerdas secara spiritual. Jakarta: Gramedia.
Covey, S.R. (1994). 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif. Jakarta: Binarupa Aksara.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan
Kecakapan Hidup di SMA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Dryden, G. & Vos, J. (2003). Revolusi cara belajar (The learning revolution). Bandung: Kaifa.
Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences.
Gunawan, A.W. (2007). Born to be a genius. Jakarta: Gramedia
Means, B. (1993). Using technology to support education reform. Amerika Serikat: US Government
Printing Office.
Reeves, T.C. (1998). The impact of media and technology in schools. A research report prepared for
the Bertelsmann Foundation. Amerika Serikat: University of Georgia.
Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Woodbridge, J. (2004). Technology integration as a transformation teaching strategy. Diambil 5 Juni
2007, dari www.techlearning.com.

ICT

PENGGUNAAN ICT
1. Latar Belakang
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information Communication and Technology (ICT) di era globalisasi saat ini sudah menjadi kebutuhan yang mendasar dalam mendukung efektifitas dan kualitas proses pendidikan. Isu-isu pendidikan di Indonesia seperti kualitas dan relevansi pendidikan, akses dan ekuitas pendidikan, rentang geografi, manajemen pendidikan, otonomi dan akuntabilitas, efisiensi dan produktivitas, anggaran dan sustainabilitas, tidak akan dapat diatasi tanpa bantuan TIK. Pendidikan berbasis TIK merupakan sarana interaksi manajemen dan administrasi  pendidikan, yang dapat dimanfaatkan baik oleh pendidik dan tenaga kependidikan maupun peserta didik dalam meningkatkan kualitas, produktivitas, efektifitas dan akses pendidikan.
Perkembangan TIK atau multimedia di Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan masih belum optimal dibandingkan dengan negara-negara tetangga sepertI Singapura, Malaysia dan Thailand. Terdapat beberapa masalah dan kendala yang masih dirasakan oleh masyarakat khususnya tenaga pendidik dan profesional pendidikan untuk memanfaatkan TIK di berbagai jenjang pendidikan baik formal maupun non formal. Permasalahan tersebut terutama berkaitan dengan kebijakan, standarisasi, infrastruktur jaringan dan konten, kesiapan dan kultur sumber daya manusia di lingkungan pendidikan. Oleh karena itu, berbagai upaya yang telah dan akan dilakukan baik pemerintah maupun masyarakat dalam rangka pemanfaatan TIK dalam pendidikan sangat urgen dan mutlak dilakukan secara terintegrasi, sistematis dan berkelanjutan. Dalam makalah ini khususnya akan dibahas bagaimana kebijakan dan standarisasi mutu penyelenggaraan pendididkan berbasis TIK. Apa standarisasi mutu yang disyaratkan untuk penyelengganan pendidikan berbasis TIK yang efektif dan efisien serta akuntabel.
2. Konsep Teknologi Informasi dan Komunikasi
Secara sederhana Elston (2007) membedakan antara Teknologi Informasi (IT) dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), yaitu “IT as the technology used to managed information and ICT as the technology used to manage information and aid communication”. Sementara itu, UNESCO (2003) mendefinisikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai berikut: “ICT generally relates to those technologies that are used for accessing, gathering, manipulating and presenting or communicating  information. The technologies could include hardware e.g. computers and others devices, software applications, and connectivity e.g. access to the internet, local networking infrastructure, and  video conferencing”.
Dalam praktek di lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, TIK meliputi komputer, laptop, network komputer, printer, scanner, video/DVD player,  kamera digital, tape/CD, interactive whiteboards/smartboard. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa peran TIK adalah sebagai enabler atau alat untuk memungkinkan terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran. Jadi TIK merupakan sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.
Morsund dalam UNESCO (2003) mengemukakan cakupan TIK secara rinci yang meliputi sebagai berikut:
piranti keras dan piranti lunak komputer serta fasilitas telekomunikasi
mesin hitung dari kalkulator sampai super komputer
perangkat proyektor / LCD
LAN (local area network) dan WAN (wide area networks)
Kamera digital, games komputer, CD, DVD, telepon selular, satelit telekomunikasi dan serat optik
mesin komputer dan robot
Sejatinya TIK memiliki potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan khususnya di bidang pendidikan. Rencana cetak biru TIK Depdiknas, paling tidak menyebutkan tujuh fungsi TIK dalam pendidikan , yaitu sebagai sumber belajar, alat bantu belajar, fasilitas pembelajaran, standard kompetensi, sistem administrasi, pendukung keputusan, dan sebagai infrastruktur.
UNESCO telah mengidentifikasi  4 (empat) tahap dalam sistem pendidikan yang mengadopsi TIK, yaitu :
1) Tahap emerging; yaitu perguruan tinggi/sekolah berada pada tahap awal. Pendidik dan tenaga kependidikan mulai menyadari, memilih/membeli, atau menerima donasi untuk pengadaan sarana dan prasarana (supporting work performance)
2) Tahap applying; yaitu perguruan tinggi/sekolah memiliki pemahaman baru akan kontribusi TIK. Pendidik dan tenaga kependidikanu menggunakan TIK dalam manajemen sekolah dan kurikulum (enhancing traditional teaching)
3) Tahap infusing; yaitu melibatkan kurikulum dengan mengintegrasikan TIK. Perguruan tinggi/sekolah mengembangkan teknologi berbasis komputer dalam lab, kelas, dan administrasi. Pendidik dan tenaga kependidikan mengekplorasi melalui pemahaman baru, dimana TIK mengubah produktivitas professional (facilitating learning).
4) Tahap Transforming; yaitu perguruan tinggi/sekolah telah memanfatkan TIK dalam seluruh organisasi. Pendidik dan tenaga kependidikan menciptakan lingkungan belajar yang integratif dan kreatif (creating innovative learning environment) melalui TIK.
Dewasa ini pemanfaatan TIK dalam pendidikan dapat dilakukan melalui berbagai mode yang dikenal dengan Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ). Bates (2005) membedakan pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh dan pendidikan fleksibel sebagai berikut: “Open learning is a primarily a goal. An essential characteristics of open learning is the removal of barriers to learning. In distance learning students can study in their own time, at any place and without face-to-face contact with a teacher. Flexible learning is the provision of learning in a flexible manner”.
PTJJ merupakan alternatif model dalam  proses pembelajaran yang memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk belajar “kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja”.
3. Kebijakan Pemanfaatan TIK Pendidikan
3.1. Tantangan Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional memiliki banyak tantangan baik dari sisi input, proses maupun output. Beberapa tantangan pendidikan nasional tersebut adalah sebagai berikut:
Banyak anak usia sekolah yang belum dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun. Anak usia 7 – 12 tahun masih dibawah 80% yang telah menikmati pendidikan (APK SMP 85,22, dan APK SMA 52,2).
Tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan/sekolah sebagai contoh: tidak semua sekolah memiliki telepon, apalagi koneksi internet.
Tidak seragamnya dan rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah yang ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkat kelulusan Ujian Nasional dan nilai Ujian Nasional.
Rendahnya jumlah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta ( PTN – 82 dan PTS – 2.236 (Dikti,2003))
Rendahnya daya tampung dan tingkat partisipasi kuliah (Daya tampung sekitar 3,2 juta mahasiswa dengan tingkat partisipasi  12.8%. Padahal, Filipina mencapai 32% dan Thailand telah mencapai 30%.
BAN sebagai penentu kualitas pendidikan menginformasikan bahwa hampir 50% pendidikan tinggi berakreditasi C (46,35% program diploma dan 47.97% PTN dan PTS).
Rendahnya Tenaga Pengajar Non Formal (PLS). Kebutuhan guru PLS mencapai angka 519.790 orang. Sementara  yang ada hanya sebesar 113.622 orang  atau 22%. Sehingga diperlukan 406.168 guru atau 78%.  (PMPTK 2006).
Rendahnya tenaga pendidik yang belum memenuhi syarat sertifikasi (dari  2.692.217 orang guru yang ada, 727.381 orang (27%)  memenuhi syarat sertifikasi, sisanya 1.964.836 (73%) belum memenuhi syarat sertifikasi.
Berdasarkan survey HDI th 2005, Indonesia menduduki ranking 112 dari 175 negara (jauh berada di bawah Malaysia dan Bangladesh).
Rendahnya tingkat pemanfaatan TIK di sekolah/kampus (Digital Divide), yang ditunjukkan dengan kondisi dimana tidak semua sekolah mempunyai sarana TIK.  Sekalipun ada, jumlahnya terbatas dan pemanfaatannya masih belum optimal.
3.2. Peran Strategis TIK untuk Pendidikan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui Pendidikan Jarak Jauh  bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh telah menjadi suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional. Sistem pendidikan jarak jauh yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi (cetak), generasi kedua multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga pembelajaran jarak jauh (telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel (multimedia interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www).
Seperti tercantum secara eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009, terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam menunjang tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan pemerataan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau rakyat banyak.
Dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis TIK untuk pilar pertama, yaitu perluasan dan pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan sebagai media pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik,  peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi manajemen secara terintegrasi.
3.3. Infrastruktur Jaringan dan Konten TIK Depdiknas
Depdiknas telah memiliki infrastruktur backbone teknologi informasi dan komunikasi yang cukup besar dan siap untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya baik untuk kebutuhan pendidikan, penelitian, maupun adminisitrasi.
Jardiknas dikategorikan kedalam tiga zona, yaitu:
Zona Personal/Komunitas; yang diperuntukkan sebagai akses personal bagi  guru, dosen, dan siswa.
Zona Perguruan Tinggi; yang diperuntukkan bagi seluruh Perguruan Tinggi dan Kopertis; dan
Zona Kantor Dinas/UPT/Sekolah; diperuntukkan bagi sekolah, Dinas Pendidikan Kab/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Unit-unit Kerja Depdiknas.
Infrastruktur ini akan diisi oleh konten yang dikelompokkan dalam dua ketegori yaitu:
Kontent e-learning; konten e-learning dapat meliputi konten yang dikembangkan oleh Pustekkom, Ditdikdasmen, Ditjen Dikti, Setjen, atau unit-unit lain.
Konten e-administration; e-content administration meliputi online transaction proccessing (OLTP), data center warehouse (DCW) dan online analysis processing (OLAP)
4. Pembelajaran Berbasis TIK (e_Learning)
Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-learning sebagai berikut. Pertama, e-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line. Kedua, e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer), sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi. Ketiga, e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan. Keempat, Kapasitas peserta didik amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar konten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas peserta didik yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.
Pembelajaran berbasis TIK atau e-Learning adalah sumber pembelajaran baik secara formal maupun informal yang dilakukan melalui media elektronik, seperti Internet, Intranet, CDROM, video tape, DVD, TV, Handphone, dan PDA
Pola-pola seperti di atas semua berbeda satu dengan yang lain. E-learning lebih luas dibandingkan dengan online learning. Online learning hanya menggunakan Internet/intranet/LAN/WAN tidak termasuk menggunakan CD ROM.
Dalam pembelajaran berbasis TIK terdapat perbedaan komunikasi antara pembelajaran langsung (syncronous) dan tidak langsung (ansyncronous), dengan sebuah terminologi untuk mendeskripsikan bagaimana dan kapan pembelajaran berlangsung.
4.1. Pembelajaran Langsung (Syncronous Learning)
Dalam pembelajaran langsung, proses belajar dan mengajar berlangsung dalam waktu yang sama (real time) walaupun pendidik dan para peserta didik secara fisik berada pada tempat yang berbeda satu sama lain. Sebagai contoh yaitu:
1. Mendengarkan siaran Radio.
2. Menonton siaran Televisi
3. Konferensi audio/video.
4. Telepon Internet.
5. Chatting
6. Siaran langsung Satelite dua arah.
4.2. Pembelajaran Tidak Langsung (Ansyncronous Learning)
Dalam pembelajaran tidak langsung, proses belajar dan mengajar berlangsung dengan adanya delay waktu (waktu yang berbeda) dan pendidik dan peserta didik secara fisik berada pada tempat yang berbeda. Sebagai contoh yaitu:
1. Belajar sendiri menggunakan internet atau CD-Rom.
2. Kelas belajar menggunakan video tape.
3. Presentasi web atau seminar menggunakan audio/video.
4. Rekaman suara.
5. Mentoring tanya jawab.
6. Membaca pesan e-mail.
7. Mengakses content online
8. Forum diskusi
Karakteristik dari pembelajaran tidak langsung (ansyncronous) adalah pendidk harus mempersiapkan terlebih dahulu materi belajar sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Peserta didik bebas menentukan kapan akan mempelajari materi belajar tersebut.
5. Standarisasi Pendidikan Berbasis TIK dari SEAMOLEC
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 35, menyatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standarisasi pendidikan mutlak diperlukan untuk menjamin mutu proses dan hasil pendidikan. Pada dasarnya SNP merupakan persyaratan minimum yang ditetapkan UU, namun secara teknis diperlukan perumusan standar mutu dalam sistem pendidikan seperti Sistem Manajemen Mutu – ISO 9001:2008 / IWA 2.
McGee, Carmean dan Jafari (2005) menyatakan pentingnya standard dan spesifikasi dalam pendidikan berbasis TIK, karena memungkinkan terjadinya pembelajaran sebagai berikut: 1) Interoperability, sistem berinteraksi dengan sistem lain dalam organisasi, 2) Reusability, sumber / objek belajar mudah digunakan dalam kurikulum, latat, profil peserta didik yang berbeda, 3) Manageability, sistem telusur informasi tentang peserta didik dan konten, 4) Accessibility, semua peserta didik memiliki kemudahan menerima konten setiap saat, dan 5) Sustainability, teknologi terus berkembang sesuai standar untuk menghindari keusangan.


1.Simpulan dan Saran
Pemanfaatan tekonologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan mutlak dilakukan untuk menjawab permasalahan di bidang pendidikan terutama akses dan pemerataan serta mutu pendidikan. Kebijakan dan standarisasi mutu pendidikan menjadi pondasi yang harus dibangun untuk mendukung pendidikan berbasis TIK yang efektif dan efisien. Implementasi pendidikan berbasis TIK dapat dilakukan melalui model hybrid (dual system) yang mengkombinasikan pembelajaran klasikal (face 2 face) dengan belajar terbuka dan jarak jauh (on line). Sedangkan pembelajaran berbasis TIK dapat dilaksanakan secara lansung (syncronous learning) dan tidak langsung (asyncronous Learning). Hal ini tergantung dengan kondisi teknologi dan jaringan yang tersedia. Standarisasi dalam pemanfaatan TIK dalam pendidikan sangat penting untuk menjamin mutu proses dan hasil pendidikan.
Beberapa saran yang dapat dikemukakan untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pendidikan berbasis TIK sebagai berikut.
1.Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pendidikan baik di sekolah atau perguruan tinggi menjadi hal mutlak mengingat kondisi permasalahan pendidikan yang makin kompleks. Pendidikan berbasis TIK hanya akan berhasil apabila dikelola dan ditangani dengan terencana, sistematis dan terintegrasi.
2.Perencanaan dalam pemanfaatan TIK dalam pendidikan yang integratif meliputi kebijakan, standarisasi mutu, infrastruktur jaringan dan konten, kesiapan dan kultur SDM pendidikan menjadi penting untuk ditata dan dikelola dengan efektif dan efisien.
3.Penyelenggaraan pendidikan berbasis TIK melalui  pendidikan terbuka dan jarak jauh (e-Learning), membutuhkan dukungan dari semua pihak khususnya pemerintah, swasta serta masyarakat untuk mengalokasikan anggaran dan investasi pendidikan yang memadai.
4.Standarisasi mutu penyelenggaran pendidikan berbasis TIK perlu ditindaklanjuti dengan standarisasi konten untuk menjamin kualitas, aksesibilitas dan akuntabilitas program pendidikan berbasis TIK.

pemecahan masalah


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Matematika sebagai suatu ilmu memiliki objek dasar abstrak yang dapat berupa fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Dari objek dasar itu berkembang menjadi objek-objek lain, misalnya pola-pola, struktur-struktur dalam matematika yang ada dewasa ini. Pola pikir yang digunakan dalam matematika itu adalah deduktif atau deduktif aksiomatik (Sumarno dan Sukahar, 1996 : xiii).
Matematika sebagai ilmu dasar begitu cepat mengalami perkembangan, hal itu terbukti dengan makin banyaknya kegiatan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, matematika juga sangat diperlukan siswa dalam mempelajari dan memahami mata pelajaran lain. Akan tetapi pada kenyataannya banyak siswa merasa takut, enggan dan kurang tertarik terhadap mata pelajaran matematika. Banyak siswa yang kurang tertantang untuk mempelajari dan menyelesaikan soal-soal matematika, terutama soal-soal cerita. Selama ini metode yang dipergunakan dalam pembelajaran soal cerita dalam matematika pada kelas III SD Tambakaji 05, masih menggunakan metode ceramah dan latihan, sedangkan soal cerita dalam matematika itu sendiri merupakan kegiatan pemecahan masalah. Berpijak pada permasalahan tersebut, maka guru merasa perlu untuk berupaya memperbaiki metode pembelajarannya. Salah satunya adalah menggunakan metode pemecahan masalah.

Johnson dan Rising dalam Ruseffendi (1997 : 28) mengemukakan bahwa matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan symbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol, mengenai ide (gagasan) daripada mengenai bunyi. Kemudian Kline dalam Ruseffendi (1994 : 28) mengemukakan matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Berpijak dari pengertian-pengertian di atas, maka matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi melalui bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran sehingga siswa mampu menyelesaikan permasahan hidup sehari-hari. Menurut kurikulum 2004, matematika merupakan suatu bahan kajian
yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Dalam pembelajaran matematika agar mudah dimengerti oleh siswa, proses penalaran induktif dapat dilakukan pada awal pembelajaran. Kemudian dilanjutkan dengan proses penalaran deduktif untuk menguatkan pemahaman yang sudah dimiliki oleh siswa. Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah (Depdiknas, 2003 : 6). Berpijak dari uraian di atas, maka di Sekolah Dasar, khususnya kelas III terlebih dahulu siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda sehingga keaktifan siswa dalam proses belajar terjadi secara penuh. Bruner dalam Ruseffendi (1994 : 109-110) mengemukakan bahwa dalam proses belajar siswa melewati 3 tahap yaitu :
1) Tahap enaktif
Dalam tahap ini siswa secara langsung terlibat dalam memanipulasi objek.
2) Tahap ikonik
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan siswa berhubungan dengan mental, yang merupakan
Crow and Crow, dalam Erman Amti (1992 : 2) mengemukakan bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang baik pria maupun wanita yang telah terlatih dengan baik dan memiliki kepribadian dan pendidikan yang memadai kepada seorang dari semua usia untuk membantunya mengatur kegiatan, keputusan sendiri dan menanggung bebannya sendiri. Kemudian Jones dalam Djumhur dan M. Surya (1975 : 10) mengemukakan bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu-individu dalam menentukan pilihan-pilihan dan mengadakan berbagai penyesuaian dengan bijaksana dengan lingkungan. Bimbingan belajar adalah layanan bimbingan yang memungkinkan siswa mengembangkan diri dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, materi belajar yang cocok dengan kecepatan dan kesulitan belajar atau dapat pengatasi kesulitan belajar dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika (Heru Mugiarso, 2004 : 17).
Dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika digunakan suatu strategi yang mengaktifkan siswa untuk belajar. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar matematika, guru hendaknya memiliki dan menggunakan metode atau strategi yang banyak melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan materinya. Adapun metode yang direkomendasikan dalam pembelajaran soal cerita adalah metode pemecahan masalah. Tahapan penyelesaian masalah dapat diskemakan sebagai berikut :

Analisis > Rencana > Penyelesaian > Penilaian

1. Analisis
Memperoleh gambaran lengkap dari apa yang diketahui dan apa yang dipermasalahkan.
2. Rencana
Mengubah permasalahan menjadi sebuah masalah atau soal yang penyelesaiannya secara prinsip dapat diketahui
3. Penyelesaian
Melaksanakan rencana pemecahan yang dituliskan dengan jelas dalam bentuk pengerjaan dan hasil.
4. Penilaian
Memeriksa, apakah masalah sudah diselesaikan dengan tuntas dan layak sebagai jawaban pertanyaan atau penyelesaian masalah. Sukirman dalam Ruseffendi ( 1997 : 10.9 – 10.11).

Mengacu pada pendapat Bruner, bahwa di dalam pembelajaran matematika harus menggunakan tahapan-tahapan tertentu dan pendekatan kontekstual. Maka sebelum siswa menyelesaikan soal cerita, terlebih dahulu diadakan tanya jawab yang mengarah pada pemecahan penyelesaian soal
cerita sebagai berikut :
1) Tahap enaktif
Guru mengadakan tanya jawab, contoh :
Guru : “Berapa uang sakumu, Vera ?”
Vera : “Empat ratus rupiah, Bu”
Guru : “Sekarang kamu Rian, berapa uang sakumu ?”
Rian : “Lima ratus rupiah, Bu”
Guru : “Vera mempunyai uang empat ratus rupiah. Rian mempunyai uang lima ratus rupiah. Bila disatukan ada berapa uang saku mereka ?”
Siswa : “Sembilan ratus rupiah”.
Di dalam tahap enaktif adanya pengalaman langsung dan alat peraga yang berupa uang.
2) Tahap ikonik
Guru mengadakan tanya jawab seperti di atas tetapi pada tahap ikonik dimanipulasi dengan menggambar himpunan di papan tulis seperti berikut :











gambar di yg paling atas

Di dalam tahap ikonik adanya manipulasi benda asli dengan tiruan.
3) Tahap Simbolik
Guru langsung menggunakan lambang bilangan karena pada tahap ini siswa sudah mampu menggunakan notasi dan berpikir abstrak.
Rp. 400,00 + Rp. 500,00 = Rp. 900,00

Soal cerita dalam pembelajaran matematika adalah bentuk soal non rutin karena merupakan kegiatan pemecahan masalah. Dalam menyampaikan soal cerita, siswa harus :
1) Mengerti soalnya dan mengetahui dengan jelas apa yang ditanyakan
2) Dapat menuliskan kalimat matematikanya dalam bentuk kalimat bilangan dengan salah satu peubah (biasanya n)
3) Mencari bilangan yang membuat hal itu menjadi benar (berapakah n)
4) Menjawab pertanyaan dalam soal cerita itu menggunakan bilangan yang diperoleh (Hambali dan Siskandar, 1993 : 43 – 44)

Langkah-langkah di atas dalam pembelajaran soal cerita di kelas III sebagai berikut :

Contoh soal :

Suatu pertandingan sepak bola dihadiri 2.750 penonton putra dan 4% penonton putri. Sebelum pertandingan berakhir, jumlah penonton yang telah pulang 372. berapa orang jumlah penonton yang pulang setelah pertandingan berakhir ? (Supardjo, 2004 : 74) Dalam hal ini perlu dibiasakan untuk menulis terlebih dahulu :
1) Apa yang diketahui
Banyak penonton putra 2.750 orang
Banyak penonton putri 496 orang
Penonton yang pulang sebelum pertandingan berakhir 372 orang
2) Apa yang ditanya
Berapa jumlah penonton yang pulang setelah pertandingan berakhir
3) Menulis kalimat matematikanya
2.750 496 – 372 = . . . .
4) Menjawab pertanyaan dan mengkomunikasikan hasilnya
2.750
496 +
3.246
372 -
2.874



Jadi penonton yang pulang setelah pertandingan ada 2.874 orang. Selain metode dalam pembelajaran soal cerita diperlukan adanya penggunaan media yang tepat. Adapun media rekomendasikan dalam
pembelajaran soal cerita penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah adalah :
1) Media tiga dimensi realita berupa mata uang
Penggunaan mata uang dalam pembelajaran soal cerita selain guru yang menggunakan, siswa juga diberi kesempatan untuk menggunakan sendiri.
2) Media visual diam yang berupa lembar kerja siswa
Lembar kerja siswa dibuat oleh guru, yang memuat perintah dalam mengerjakan dan soal cerita sebagai latihan yang harus diselesaikan siswa.
3) Media visual diam yang berupa kertas manila bertuliskan soal cerita.

Jumat, 04 Februari 2011

statistik terapan dalam dunia biologi

STATISTIKA DALAM DUNIA BIOLOGI

Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Istilah 'statistika' (bahasa Inggris: statistics) berbeda dengan 'statistik' (statistic). Statistika merupakan ilmu yang berkenaan dengan data, sedang statistik adalah data, informasi, atau hasil penerapan algoritma statistika pada suatu data. Dari kumpulan data, statistika dapat digunakan untuk menyimpulkan atau mendeskripsikan data; ini dinamakan statistika deskriptif. Sebagian besar konsep dasar statistika mengasumsikan teori probabilitas. Beberapa istilah statistika antara lain: populasi, sampel, unit sampel, dan probabilitas.
Statistika banyak diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu alam (misalnya astronomi dan biologi maupun ilmu-ilmu sosial (termasuk sosiologi dan psikologi), maupun di bidang bisnis, ekonomi, dan industri. Statistika juga digunakan dalam pemerintahan untuk berbagai macam tujuan; sensus penduduk merupakan salah satu prosedur yang paling dikenal. Aplikasi statistika lainnya yang sekarang popular adalah prosedur jajak pendapat atau polling (misalnya dilakukan sebelum pemilihan umum), serta jajak cepat (perhitungan cepat hasil pemilu) atau quick count. Di bidang komputasi, statistika dapat pula diterapkan dalam pengenalan pola maupun kecerdasan buatan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Statistika)
Dalam statistika terapan yang berkaitan dengan ilmu biologi terdapat ilmu Biostatistik dan Biometrik.
1. Biostatistik
Biostatistika (gabungan dari kata biologi dengan statistika; kadang-kadang dirujuk sebagai biometri atau biometrika) adalah penerapan ilmu statistika ke dalam ilmu biologi. Ilmu biostatistika meliputi rancangan percobaan biologi, utamanya dalam bidang agrikultur dan kedokteran, pengoleksian data, peringkasan data, dan analisis data percobaan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Biostatistika)
Biostatistik merupakan ilmu statistika terapan yang mengenalkan perhitungan statistik kehidupan, baik konsep dasarnya, penyajian data, pemusatan dan penyebaran data, kemiringan dan distribusinya dalam kurve normal serta konsep estimasi, sampling, uji hipotesis dan uji-uji statistik deskriptif, korelasi maupun komparasi. Hal-hal tersebut akan sangatlah berguna dalam melakukan analisis data penelitian kuantitatif.Pada bahasan Konsep dasar statistik umum, kita akan banyak mengerti hal-hal meliputi: Pengertian statistika, Ruang lingkup statistika, Pengertian dan jenis data serta Variabel dan skala pengukuran variabel.
Bahasan tentang Manfaat dan teknik penyajian akan secara terinci tentang tahap pengumpulan, pengolahan hingga penyajian data, Jenis-jenis dan cara penyajian data secara Textular, Tabularmaupun Grafikal, Jenis table penyajian data, Cara membuat table, Menyajikan table dalam bentuk table:Tabel distribusi frekuensi, Tabel silang 2 variabel. Akan diuraikan juga penyajian data kualitatif maupun kuantitatif. Penyajian data kualitatif secara grafik: Grafik batang, Grafik gambar, Grafik pie (lingkaran), Penyajian data kuantitatif secara grafik: Histogram, poligon, Ogive, Garis, Scater plot diagram.
http://nziemahfujiah.blogspot.com/2010/12/biostatistika.html)

2. Biometrika

Pada era informasi ini, sistem pengenalan seseorang (personal recognition) secara otomatis menjadi sesuatu yang sangat penting. Sistem pengenalan merupakan permasalahan untuk memecahkan identitas seseorang.

Terdapat dua tipe sistem pengenalan, yaitu verifikasi dan identifikasi. Sistem verifikasi untuk menerima atau menolak identitas yang diklaim seseorang, sedangkan sistem identifikasi adalah permasalahan memecahkan identitas seseorang.

Pada dasarnya, metode-metode sistem pengenalan dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, berdasar sesuatu yang dimiliki (possessions based), seperti kunci dan kartu. Kedua, berdasar sesuatu yang diketahui (knowledge based), seperti identitas pengguna (userid), PIN, dan password. Ketiga, berdasar biometrika (biometrics based).

Penggunaan kunci atau kartu memiliki beberapa kelemahan, seperti dapat hilang atau dicuri, dapat digunakan secara bersama-sama, dan mudah diduplikasi. Penggunaan userid, PIN, dan password juga menimbulkan beberapa permasalahan, seperti tak diingat (dilupakan), dapat digunakan secara bersama-sama, dan beberapa password mudah diperkirakan.

Biometrika menggunakan karakteristik unik dari fisiologis atau tingkah laku manusia. Biometrika menawarkan sistem pengenalan yang lebih dapat dipercaya atau lebih andal. Biometrika banyak digunakan untuk sistem pengenalan seseorang secara otomatis, baik untuk sistem identifikasi maupun verifikasi.

Di dunia teknologi informasi, aspek keamanan menjadi salah satu faktor penting yang tak bisa dilepaskan. Kejahatan yang makin berkembang di dunia teknologi informasi membuat sistem biometrik diharapkan mampu mengatasi masalah keamanan yang sering muncul dalam teknologi informasi.

Biometrika berasal dari bahasa Yunani, yakni gabungan dari kata “bios” dan “metron”. Bios berarti hidup dan metron berarti perhitungan. Jadi, secara umum, biometrika merupakan teknologi untuk menunjukkan keaslian individu yang mengakses aset organisasi. Keaslian adalah konsep yang menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang diizinkan saja (autentik) yang dapat mempunyai akses terhadap aset organisasi.

Sistem biometrika telah banyak dipergunakan dan dikembangkan di banyak negara. Walt Disney Amerika Serikat (AS), misalnya, menggunakan teknologi sistem biometrika fingerprint untuk mengidentifikasi pemilik kartu musiman yang masuk ke wahana tersebut.

Biasanya suatu sistem biometrika terdiri atas lima komponen yang terintegrasi. Pertama, sensor yang berfungsi mengumpulkan atau menangkap data, kemudian mengompresi data itu ke format digital. Kedua, pengolahan untuk melakukan aktivitas pengolahan atau pengendalian mutu pengembangan template biometric. Ketiga, komponen penyimpanan data untuk dibandingkan dengan template biometric yang baru.

Keempat, algoritma pencocokan untuk membandingkan template biometric yang baru dan template biometric yang tersimpan. Kelima, proses pengambilan keputusan berdasar hasil pencocokan yang telah dilakukan. Banyak kelemahan sistem tradisional menjadi tolok ukur dalam pengembangan sistem biometrika.

Sebagai contoh di dunia teknologi informasi, akses account pribadi seseorang di situs jejaring sosial yang masih menggunakan password yang berupa karakter dapat dengan mudah diketahui atau ditebak orang lain dengan berbagai metode penyerangan dan tool yang tersedia secara bebas di internet. Namun dalam sistem biometrika, sistem tak begitu saja memberikan jawaban “yes” atau “no” pada seseorang yang meminta hak akses karena ada proses identifikasi terlebih dahulu.

Selain itu, banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan memakai teknologi biometrika. Tidak ada lagi yang lupa atau pencurian password, keaslian lebih terjamin karena harus menghadirkan person sebagai alat validasi, identifikasi positif dan akurat, tingkat keamanan tertinggi menawarkan mobilitas, berfungsi sebagai kunci yang tak dapat ditransfer, aman, dan bersahabat dengan pengguna.

Cara kerja teknologi keamanan ini hampir sama dengan teknologi keamanan lain yang sangat tergantung pada sensor. Sensor yang digunakan pada teknologi biometrika cenderung mahal dan makin akurat, sehingga kian mahal.

Selain sensor, bagian yang tak kalah penting dari biometrika adalah data. Bagaimana Anda menyimpan data di sebuah sistem sangat penting. Sebab, biometrika adalah teknologi yang tergantung pada data. Bila data yang disimpan tak aman atau lengkap, kemungkinan ada penyusup ke sistem itu lebih besar.
(http://engineeringtown.com/home/teenagers/index.php?option=com_content&view=article&id=685:biometrika-sistem-identifikasi-masa-depan&catid=60:inovasi-teknologi&Itemid=86)

Rabu, 26 Januari 2011

sistem pendidikan di afrika selatan

Pendidikan di Afrika Selatan telah terjejas teruk akibat sistem aparteid yang mendiskriminasikan penduduk dari segi pendidikan. Sewaktu itu, penduduk kulit putih menerima pendidikan yang terbaik tetapi penduduk bukan kulit putih menerima pendidikan yang paling minimal. Di bawah kerajaan kulit hitam yang baru, pengasingan ini telah dimansuhkan dan semua orang tidak kira bangsa dan warna kulit berhak mendapat pendidikan yang sama.
PENDIDIKAN TRADISIONAL
Sebelum kedatangan orang kulit putih, pendidikan masyarakat Afrika menekankan aspek-aspek tradisi seperti kisah-kisah perwira dan pengkhianat serta kisah masyarakat atau "folktales". Dalam masyarakat Khoisan dan Bantu terutamanya, nilai-nilai budaya dan kemahiran hidup merupakan pendidikan penting yang diajari daripada satu generasi ke generasi yang lain.
Dalam masyarakat Nguni pula, pendidikan adalah berbeza mengikut jantina. Kaum lelakinya diajar kemahiran hidup oleh para cendikiawan berlatarbelakangkan militari, keugamaan dan dari pemimpin politik. Manakala kaum wanita, mendapat pendidikan tentang kemahiran berumahtangga dan pertanian.
Pendidikan tradisi semakin pupus selepas abad ke-19 dan 20, apabila polisi kerajaan kulit putih memaksa penduduk dewasa kulit hitam keluar dari perkampungan mereka dan bekerja di lombong dan kawasan industri.
KEDATANGAN SISTEM PENDIDIKAN BRITISH
Sekolah Eropah terawal di Afrika Selatan telah ditubuhkan di koloni Cape pada akhir abad ke-17 oleh para pegawai Gereja Reformasi Belanda. Sekolah-sekolah tersebut memainkan peranan yang terhad iaitu untuk pengesahan ahli gereja. Di kawasan pendalaman, guru-guru bergerak yang dkenali sebagai Meesters, mengajar asas kefahaman serta kemahiran matematik. Sekolah-sekolah mubaligh Inggeris mula berkembang pesat selepas 1799, bila ahli-ahli Persatuan Mubaligh London tiba di koloni ini.
Bahasa telah menjadi isu sensitif dalam pendidikan di negara ini. Sekurang-kurangnya dua dozen sekolah Inggeris beroperasi di kawasan pendalaman koloni Cape, tetapi kehadiran sekolah tersebut ditentang oleh bangsa Afrikaner, yang menganggap bahasa Inggeris serta kurikulumnya tidak relevan untuk masyarakat mereka. Justeru itu, ramai orang Afrikaner memilih untuk megajar anak mereka di rumah atau di gereja masing-masing. Namun demikian, orang kulit hitam di Afrika Selatan terutamanya puak Xhosa dan Nguni telah menerima pendidikan Inggeris. Pada 1877, hampir 60% kanak-kanak di Natal telah mendaftar di sekolah kebangsaan dan sekolah mubaligh Inggeris. Berlainan pula dengan wilayah-wilayah Afrikaner, pendaftaran pelajar amat rendah iaitu 12% di Orange Free State dan hanya 8% di Transvaal. Namun demikian pada akhir abad itu, pendaftaran pelajar mula bertambah selepas kerajaan memperkenalkan bahasa Afrikaan di sekolah-sekolah dan memberi lebih kuasa kepada Afrikaner untuk mengawal pendidikan rendah serta menengah. Pada akhir abad ke-19, tiga jenis sekolah telah mendapat bantuan kerajaan - iaitu sekolah sekolah pendalaman yang biasanya mempunyai seorang guru, sekolah-sekolah daerah dan beberapa sekolah menengah di bandar-bandar besar. Selepas itu juga, keempat-empat wilayah Afrikaner telah memansuhkan pendaftaran pelajar kulit hitam ke sekolah kerajaan dan mereka boleh belajar di sekolah mubaligh sahaja, dimana guru-gurunya terdiri dari pegawai-pegawai agama.
Pendidikan tinggi pula adalah terhad kepada orang kulit putih tetapi pada 1829 kerajaan menubuhkan institusi pendidikan pelbagai bangsa yang dikenali sebagai "South African College", kemudian menjadi "University of Cape Town". Pada 1852 pegawai-pegawai British di Transvaal dan Orange Free State telah mengiktiraf hak orang Afrikaner untuk menubuhkan institusi pendidikan tinggi mereka sendiri dan Gabenor British yang baru--Sir George Grey--telah memperuntukkan dana untuk membantu institusi tersebut. Pada 1855 kerajaan menubuhkan "Grey College"--kemudian dikenali sebagai "University of the Orange Free State"--di Bloemfontein dan diletak di bawah kuasa Gereja Reformasi Belanda. Setahun selepas itu, "Grey Institute" telah dibuka di Port Elizabeth; Graaff-Reinet College pula ditubuhkan pada 1860. Christian College telah dibuka di Potchefstroom pada 1869 dan kemudian digabungkan dengan "University of South Africa" dan ditukar nama menjadi "Potchefstroom University for Christian Higher Education".
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI AFRIKA SELATAN
Selepas berakhirnya Perang Afrika Selatan pada 1902, kerajaan British berusaha untuk memartabatkan bahasa Inggeris semula dalam sektor pendidikan di negara ini. Guru-guru Inggeris dari empayarnya seperti Australia dan New Zealand telah dibawa masuk untuk mengajar dalam bahasa Inggeris. Ramai orang Afrikaner terutamanya dari pihak gereja berasa tergugat dan ingin menangkis pengaruh British di Afrika Selatan. Lalu mereka mencadangkan program pendidikan baru iaitu Pendidikan Nasional Kristian, sebagai kurikulum teras untuk sekolah-sekolah. Pada mulanya kerajaan enggan menyokong institusi yang menggunakan program tersebut. Namun demikian Jan C. Smut, pemimpin Transvaal yang kemudiannya menjadi Perdana Menteri Afrika Selatan telah berusaha untuk menyatukan British dengan Afrikaner dan membenarkan program ini dijalankan di sekolah-sekolah.
Bahasa Afrikaans menjadi semakin penting selepas 1948 apabila Parti Kebangsaan (NP) berkuasa. Parti ini yang pro-Afrikaner telah membuat dasar pendidikan baru yang menghendaki semua graduan institusi tinggi menguasai kedua-dua bahasa iaitu Afrikaans dan Inggeris. Mereka juga menjadikan program Pendidikan Nasional Kristian sebagai falsafah pendidikan negara.
PENDIDIKAN DI BAWAH APARTEID
Akta Pendidikan Bantu (No. 47) 1953 telah meluaskan jurang pendidikan antara orang kulit putih dan bukan kulit putih. Dua arkitek pendidikan Bantu, Dr. W.M. Eiselen dan Dr. Hendrik F. Verwoerd, yang pernah belajar di Jerman telah menggunapakai banyak elemen falsafah parti National Socialist (Nazi) yang menekankan konsep ketulenan bangsa atau "racial purity". Konsep ini telah dijadikan rasional untuk membiarkan pendidikan penduduk kulit hitam berada di tahap yang paling rendah. Verwoerd, menteri penduduk pribumi pada waktu itu, berkata orang kulit hitam "perlu mendapat pendidikan yang setaraf dengan peluang hidup mereka," dan tiada tempat untuk mereka "selain menjadi pekerja buruh". Kerajaan juga mengawal ketat sekolah-sekolah mubaligh dan memberhentikan bantuan kewangan kepada sekolah tersebut yang mengakibatkan banyak sekolah-sekolah ini ditutup atau dijual kepada kerajaan.
"Christian National Education" menyokong program aparteid parti NP terutamnya penggunaan bahasa Afrikaans pada tahun-tahun pertama sekolah rendah dan mendiskriminasikan pendidikan berdasarkan perbezaan etnik. Sekolah-sekolah kaum kulit hitam bertambah pada 1960 tetapi kurikulumnya adalah untuk menyediakan mereka bekerja sebagai buruh kasar atau kuli. Pada 1970, per-kapita perbelanjaan kerajaan untuk pendidikan kulit hitam adalah satu persepuluh berbanding perbelanjaan pendidikan orang kulit putih. Sewaktu era aparteid, sekolah-sekolah untuk kulit hitam amat daif dari segi kemudahan, pengajar dan buku-buku teks. Sepuluh kementerian pendidikan berasingan telah ditubuhkan untuk mentadbir pendidikan dikesemua bantustan di negera ini. Walaupun perbelanjaan kerajaan untuk pendidikan kaum kulit hitam bertambah dengan banyaknya pada akhir 1980-an, pada akhir era aparteid pada 1994 perbelanjaan per kapita untuk pendidikan orang kulit putih masih tinggi iaitu empat kali ganda perbelanjaan untuk kaum kulit hitam; manakala perbelanjaan pendidikan untuk pelajar-pelajar Asia dan berwarna adalah hampir sama dengan kaum kulit putih.
KEKACAUAN DI SOWETO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN AFRIKA SELATAN
Rusuhan pelajar tercetus pada 16 Jun, 1976 di Soweto, Johannesburg apabila Hendrik Verwoerd, Perdana Menteri ketika itu, menguatkuasakan peraturan yang menghendaki separuh daripada pelajar sekolah tinggi diajar dalam bahasa Afrikaans. Tindakan polis yang ganas, mengakibatkan kematian beberapa kanak-kanak, termasuk mereka semuda lapan dan sembilan tahun. Ia kemudiannya disusuli beberapa rusuhan yang lain, yang mengorbankan 575 nyawa. Daripada jumlah ini, 134 yang terkorban berusia dibawah lapanbelas tahun.
Penyokong remaja parti ANC meninggalkan sekolah mereka secara beramai-ramai dan bersumpah "menjadikan Afrika Selatan negara anarki" kerana mereka menolak sistem pendidikan secara aparteid. Sebahagian daripada mereka meninggalkan negara untuk mendapat latihan ketenteraan di kem-kem anjuran ANC di Angola, Tanzania, atau Timur Eropah. "Kebebasan sebelum pendidikan" menjadi laungan perang mereka.
Sekolah-sekolah telah mengalami kerosakaan yang teruk akibat rusuhan yang berlaku pada 1976. Perosak hartabenda awam dan arsonis telah memusnahkan sekolah serta hartabendanya. Malah, pelajar serta guru juga telah diserang dan pentadbir sekolah mempunyai kesukaran untuk meneruskan aktiviti di sekolah.
Akta Dasar Nasional untuk Hal Ehwal Awam (No. 76) 1984 telah memperbaiki pendidikan kulit hitam tetapi masih mengekalkan unsur pemisahan yang dianjurkan oleh sistem pendidikan Bantu. Akta tersebut telah memberi kuasa kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk menentukan polisi am berkaitan silabus, pendidikan dan persijilan di semua institusi pendidikan sama ada yang formal mahupun yang tidak formal. Tetapi tanggungjawab bagi melaksanakan polisi ini dibahagikan antara pegawai dan jabatan kerajaan yang pelbagai, menyebabkan wujudnya pelbagai badan pendidikan yang berlainan. Sebagai contoh, Jabatan Pendidikan dan Latihan bertanggungjawab bagi pendidikan kulit hitam di luar tanah asal (homelands). Setiap tiga rumah bagi parlimen--bagi kulit putih, berwarna dan berbangsa India--mempunyai jabatan pendidikan bagi setiap satu kumpulan ras, dan setiap satu daripada sepuluh tanah asal (homelands) mempunyai jabatan pendidikan mereka sendiri. Tambahan lagi, beberapa jabatan kerajaan lain turut mengendali aspek khusus pendidikan.
Pendidikan adalah wajib bagi semua kumpulan ras, tetapi pada usia berlainan, dan undang-undang dilaksanakan secara berbeza. Mereka yang berkulit putih diwajibkan menghadiri sekolah antara usia tujuh dan enam belas. Mereka yang berkulit hitam juga diwajibkan menghadiri sekolah antara usia tujuh hingga bersamaan gred tujuh atau usia enam belas tahun, tetapi undang-undang ini kurang dikuatkuasakan dan tidak semua kawasan mempunyai sekolah. Bagi mereka berbangsa Asia dan berwarna, mereka diwajibkan menghadiri sekolah antara usia tujuh dan lima belas.
Perbezaan taraf pendidikan antara kumpulan ras berlainan adalah begitu menonjol. Nisbah guru dengan pelajar di sekolah rendah purata 1:18 di sekolah kulit putih, 1:24 di sekolah Asia, 1:27 di sekolah warna, dan 1:39 di sekolah kulit hitam. Tambahan lagi, di mana 96 peratus semua guru di sekolah kulit putih memiliki sijil mengajar, hanya 15 peratus guru di sekolah kulit hitam mempunyai sijil. Kadar kelulusan sekolah menengah bagi pelajar kulit hitam peringkat kebangsaan kurang dari satu setengah dari kadar lulus bagi kulit putih.
Ketika kerajaan melaksanakan undang-undang 1984 ini, keganasan terbaru meletus sebagai tindak balas kepada pembaharuan perlembagaan terhad yang terus menyingkir penduduk kulit hitam. Akhirnya, kerajaan menyedari hakikat bahawa aparteid tidak mampu bertahan dan pada 1986 Presiden P.W. Botha mengaku bahawa konsep aparteid adalah satu yang sudah "lapuk". Lama-kelamaan jurang perbelanjaan pendidikan antara ras-ras yang berbeda semakin berkurangan dan peraturan aparteid dalam pendidikan turut dilonggarkan.
SISTEM PENDIDIKAN SETELAH ERA APARTEID
Merombak kembali sistem pendidikan merupakan cabaran paling getir yang dihadapai kerajaan selepas undang-undang aparteid dibatalkan pada 1990-an. Presiden F.W. de Klerk, dalam ucapannya di Parlimen pada Januari 1993, menegaskan perlunya satu sistem persekolahan yang tidak berdasarkan ras atau bangsa dengan fleksibiliti yang cukup untuk mengekalkan nilai-nilai agama dan budaya serta bahasa tempatan masing-masing. Beliau kemudian menubuhkan Education Co-ordination Service untuk mengurus pendidikan negara secara nasional dan mengambil alih sistem birokrasi pelbagai yang sedia ada hasil daripada pendidikan regim aparteid.
Pada Ogos 1993, de Klerk telah menghimpun pakar-pakar pendidikan yang unggul dalam sebuah forum yang dikenali National Education and Training Forum untuk merangka polisi penyusunan semula pendidikan nasional. Apabila sesi tahun baru sekolah bermula pada Januari 1995, semua sekolah rendah dan menengah kerajaan telah diintegrasikan tanpa sebaran keganasan. Namun polisi yang baru ini agak sukar dilaksanakan dan berbagai jawatankuasa dan undang-undang telah diwujudkan untuk memantapkan perlaksanaannya. Walaupun begitu, adalah jelas bahawa sistem pendidikan baru ini adalah berlandaskan prinsip-prinsip yang berikut:
• Persaksamaan
• Penyatuan
• Pendemokrasian
• Berbilang budaya
• Fokus utama pendidikan adalah untuk membangun bakat semua penduduk, dengan beberapa objektif masyarakat tertentu seperti pertumbuhan ekonomi sebagai objektif paling utama.
Demi mencapai objektif ini dua reformasi besar-besaran perlu dilaksanakan:
• Pertamanya, pendidikan berdasakan pemerolehan kemahiran (pendidikan berdasarkan hasil) dan kurikulum berkaitan (yang dipanggil Curriculum 2005), yang akan menggantikan sistem pra-1994 iaitu kurikulum berlandaskan kandungan; dan
• Keduanya mewujudkan satu jaringan yang menggalakan pendidikan sepanjang hayat dan latihan untuk semua.
SUMBER :
http://ms.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_di_Afrika_Selatan
Education in South Africa: 10 years after 1994

Kamis, 06 Januari 2011

ulhen tugas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Pengetahuan Alam, biasa disingkat IPA, adalah sebuah mata pelajaan yang mempelajari ilmu alam untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP/SLTP). Namun berbeda pada istilah yang terdapat di sekolah menengah tingkat atas (SMA/SMU) dan perguruan tinggi, kata IPA lebih dikenal sebagai salah satu penjurusan kelas yang secara khusus lebih memfokuskan untuk membahas ilmu-ilmu eksakta. Dalam ilmu pengetahuan, istilah ilmu pengetahuan alam merujuk kepada pendekatan logis untuk mempelajari alam semesta. Ilmu pengetahuan alam mempelajari alam dengan menggunakan metode-metode sains. Ilmu Pengetahuan Sosial yang menggunakan metode sains untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat, ataupun ilmu pengetahuan formal seperti matematika.

Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains (science) diambil dari kata latin yaitu Scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian berkembang menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably Joint".

Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.

Ilmu berkembang dengan pesat, yang pada dasarnya ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi menjadi dua kelompok yaitu ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam ialah ilmu yang mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan ilmu hayat mempelajari makhluk hidup didalamnya. Ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit dan ilmu bumi), (the earth sciences) yang mempelajari bumi kita.

B. RUMUSAN MASALAH

Pendidikan memiliki tujuan yang sebenarnya, yaitu menciptakan atau mengubah manusia menuju yang lebih baik. Seperti yang kita ketahui, bahwa pendidikan itu bermacam-macam. Ada yang khusus mempelajari ilmu sosial dan ada yang mempelajari ilmu alam atau yang biasa dikenal dengan ilmu pasti (MIPA). Jadi Apa Hakikat Ilmu Alam (MIPA) Sebenarnya?

C. TUJUAN

Setiap tindakan yang kita lakukan pasti ada alasan dan tujuannya. Seperti pada pembahasan masalah pendidikan MPA ini. Salah satu tujuannya yaitu bagaimana kita mengenal lebih dekat tentang ilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Kemudian hakikat kita melakukan pembelajaran MIPA. Serta masalah-masalah pendidikan mipa serta solusihnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pembelajan IPA

Pada dasarnya manusia ingin tahu lebih banyak tentang IPA atau Sains, antara lain sifat sains, model sains, dan filsafat sains. Pada saat setiap orang mengakui pentingnya sains dipelajari dan dipahami, tidak semua masyarakat mendukung. Pada umumnya siswa merasa bahwa sains sulit, dan untuk mempelajari sains harus mempunyai kemampuan memadai seperti bila akan menjadi seorang ilmuan. Ada tiga alasan perlunya memahami sains antara lain, pertama bahwa kita membutuhkan lebih banyak ilmuan yang baik, kedua untuk mendapatkan penghasilan, ketiga karena tiap kurikulum menuntut untuk mempelajari sains.

Mendefinisikan sains secara sederhana, singkat dan yang dapat diterima secara universal sangat sulit dibandingkan dengan mendefinisikan ilmu-ilmu lain. Beberapa ilmuwan memberikan definisi sains sesuai dengan pengamatan danpemahamannya. Carin mendefinisikan science sebagai The activity of questioning and exploring the universe and finding and expressing it’s hidden order, yaitu “Suatu kegiatan berupa pertanyaan dan penyelidikan alam semesta dan penemuan dan pengungkapan serangkaian rahasia alam”. Sains mengandung makna pengajuan pertanyaan, pencarian jawaban, pemahaman jawaban, penyempurnaan jawaban baik tentang gejala maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis. Belajar sains tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta, konsep, prinsip, hukum dalam wujud pengetahuan deklaratif, akan tetapi belajar sains juga belajar tentang cara memperoleh informasi sains, cara sains dan teknologi bekerja dalam bentuk pengetahuan prosedural, termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan metode ilmiah dan sikap ilmiah.


Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa sains selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pernyataan di atas selaras dengan pendapat Carin yang menyatakan bahwa sains sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum dan teori sains. Fakta merupakan kegiatan-kegiatan empiris didalam sains dan konsep, prinsip, hukum-hukum, teori merupakan kegiatan-kegiatan analisis didalam sains. Sebagai proses sains dipandang sebagai kerja atau sesuatu yang harus dilakukan dan diteliti yang dikenal dengan proses ilmiah atau metode ilmiah, melalui keterampilan menemukan antara lain, mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan keterampilan spesial, mengkomunikasikan, memprediksi, menduga, mendefinisikan secara operasional, merumuskan hipotesis, menginterprestasikan data, mengontrol variabel, melakukan eksperimen. Sebagai sikap sains dipandang sebagai sikap ilmiah yang mencakup rasa ingin tahu, berusaha untuk membuktikan menjadi skeptis, menerima perbedaan, bersikap kooperatif, menerima kegagalan sebagai suatu hal yang positif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam.

Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir analitis deduktif dengan menggunakan berbagai peristiwa alam dan penyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan menggunakan matematika serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri.

Melalui pelajaran fisika diharapkan para siswa memperoleh pengalaman dalam membentuk kemampuan untuk bernalar deduktif kuantitatif matematis berdasar pada analisis kualitatif dengan menggunakan berbagai konsep dan prinsip fisika. Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam pembelajaran fisika untuk meneliti masalah-masalah harus melalui kerja ilmiah, yang disebut metode ilmiah yaitu: merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan ekperimen, menganalisis data pengamatan, serta menarik simpulan. Ilmu Pengetahuan Alam (sains) merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisir, tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah.

Hakekat Sains dan Pembelajaran Sains
Ilmu pengetahuan alam (IPA) atau Sains dalam arti sempit telah dijelaskan diatas merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari physical sciences (ilmu fisik), dan life sciences (ilmu biologi). Yang termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu, astronomi, kimia, geologi, mineralogy, eteorologi, dan fisika. sedangkan life science meliputi astronomi, fisiologi, zoology, citologi, embriologi, mikrobiologi. IPA (Sains) berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya. Dengan tersingkapnya tabir rahasia alam itu satu persatu, serta mengalirnya informasi yang dihasilkannya, jangkauan sains semakin luas dan lahirlah sifat terapannya, yaitu tekhnologi adalah lebar. Namun dari waktu jarak tersebut semakin lama semakin sempit, sehingga semboyan " Sains hari ini adalah tekhnologi hari esok" merupakan semboyan yang berkali-kali dibuktikan oleh sejarah. Bahkan kini Sains dan teknologi manunggal menjadi budaya ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang saling mengisi
(komplementer), ibarat mata uang, yaitu satu sisinya mengandung hakikat Sains (the nature of Science) dan sisi yang lainnya mengandung makna teknologi (the meaning of technology).

IPA membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Powler bahwa IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil obervasi dan eksperimen. Dari uraian di atas Sains adalah ilmu pengetahuan yang mempunyai Obyek, menggunakan
metode Ilmiah sehingga perlu diajarkan di Sekolah Dasar. Setiap guru harus paham akan alasan mengapa sains perlu diajarkan di sekolah dasar. Ada berbagai alasan yang menyebabkan satu mata pelajaran itu dimasuk ke dalam kurikulum suatu sekolah. Usman Samatowa menegemukakan empat alasan sains dimasukan dikurikulum yaitu:

• Bahwa sains berfaedah Bagi suatu bangsa, kiranya tidak perlu dipersoalkan panjang lebar. Kesejahteraan materil suatu bangsa banyak sekali tergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidang sains, sebab sains merupakan dasar teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan. Pengetahuan dasar untuk teknologi ialah sains. Orang tidak menjadi Insinyur elektronika yang baik, atau dokter yang baik, tanpa dasar yang cukup luas mengenai berbagai gejala alam.
• Bila diajarkan sains menurut cara yang tepat, maka sains merupakan suatu mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis; misalnya sains diajarkan dengan mengikuti metode "menemukan sendiri". Dengan ini anak dihadapkan pada suatu masalah; umpamanya dapat dikemukakan suatu masalah demikian". Dapatkah tumbuhan hidup tanpa daun?" Anak diminta untuk mencari dan menyelidiki hal ini.
• Bila sains diajarkan melalui percobaan -percobaan yang dilakukan sendiri oleh anak. maka sains tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka.
• Mata pelajaran ini mempunyai: nilai – nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk keprbadian anak secara keseluruhan. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum disetiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.


B. Metode Pembelajaran MIPA

MIPA dikenal sebagai suatu bidang yang harus dipelajari di sekolah. Memang disadari kalau MIPA sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Kemajuan MIPA akan berdampak bagi kemajuan transformasi masyarakat yang juga berhubungan dengan ekonomi dan sosial suatu bangsa. Namun kenyataannya, belajar MIPA sebagai sesuatu yang membosankan. Bikin pusing karena harus menghafal rumus-rumus yang panjang sedangkan belum tahu gunanya untuk apa.

Memang, kegiatan pembelajaran MIPA beberapa daerah (bahkan beberapa negara) hanya mengajarkan asumsi-asumsi saja yang akhirnya melahirkan siswa yang tidak memiliki dan pengertian tentang manfaat MIPA bagi kehidupannya. Siswa hanya menghafal rumus, istilah-istilah tanpa tahu guna dan aplikasinya di lingkungannya. Ruang belajar pun menjadi sempit karena hanya pada ruang kelas saja. Sehingga perlu ada sebuah pembelajaran MIPA berbasis budaya dimana siswa didorong untuk dapat memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitarnya, sebagai titik awal proses penciptaan makna.

Vygotsky dalam teori kontruktivismenya menjelaskan perlu adanya peran budaya dan masyarakat sebagai pengalaman awal proses belajar. Selanjutnya, Vygotsky juga menjelaskan penciptaan makna hanya akan terjadi melalui negosiasi makna antara siswa dengan guru dan siswa yang lain yang disebut dengan interaksi. Dengan demikian pembelajaran MIPA berdasarkan budaya memerlukan interaksi aktif dari siswa dan guru dengan berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas budaya. Akhirnya pembelajaran MIPA berdasarkan budaya mensyaratkan adanya perubahan tradisi pembelajaran yang semula hanya dilakukan dengan satu metode saja yaitu DECAFA (Dengar, Catat, Hafal) menjadi tradisi mengeksplorasi berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas budaya. Bisa saja misalnya belajar MIPA sambil memasak, atau belajar MIPA dengan menggunakan metode permainan anak-anak, atau mungkin dengan musik. Bergantung dengan konteks dan keberagaman sumber belajar yang ada. Konsep penilaian hasil belajar pembelajaran MIPA berdasarkan budaya adalah multiple representations yang berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam tekhnik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan keberhasilannya dalam berbagai bentuk. Misalnya, banyak siswa yang takut menghadapi tes, tetapi sangat baik dalam mengarang atau menulis prosa, atau bahkan dalam menggambar kartun/komik. Siswa diberi kebebasan dalam mengekspresikan hasil kegiatan belajarnya tersebut. Sebelumnya guru memang harus mengetahui titik awal ketika belajar dan titik akhir belajar setiap siswa per individu. Sementara itu, upaya siswa menunjukkan keberhasilannya dalam proses penciptaan makna tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara wujud media. Misalnya dengan poster, puisi, lukisan, komik strip, catatan harian, laporan ilmiah penelitian pribadi, ukiran, patung, dan lain-lain. IPA sebagai ilmu terdiri dari produk dan proses. Produk IPA terdiri atas fakta (misalnya: orang menghirup udara dan mengeluarkan udara dari hidungnya, biji kacang hijau muncul hipokotil dan epikotilnya dan akan bertambah panjang ukurannya saat ditanam pada kapas yang disiram air), konsep ( misalnya: udara yang dihirup ke dalam paru-paru lebih banyak kandungan oksigennya dibandingkan udara yang dikeluarkan dari paru-paru, logam memuai bila dipanaskan), prinsip (misalnya: kehidupan memerlukan energi, benda tak hidup tidak mengalami pertumbuhan), prosedur (misal, pengamatan, pengukuran, tabulasi data, analisis data) teori, (misalnya: teori evolusi, teori asal mula kehidupan), hukum dan postulat ( misal, hukum Boyle, Archimedes, Postulat Kock). Semua itu merupakan produk yang diperoleh melalui serangkaian proses penemuan ilmiah melalui metoda ilmiah yang didasari oleh sikap ilmiah.


Ditinjau dari segi proses, maka IPA memiliki berbagai keterampilan IPA, misalnya:
• Menegidentifikasi dan menentukan variabel tetap/bebas dan variabel berubah/tergayut,
• Menentukan apa yang diukur dan diamati,
• Keterampilan mengamati menggunakan sebanyak mungkin indera (tidak hanya indera penglihat), mengumpulkan fakta yang relevan, mencari kesamaan dan perbedaan, mengklasifikasikan,
• Keterampilan dalam menafsirkan hasil pengamatan seperti mencatat secara terpisah setiap jenis pengamatan, dan dapat menghubung-hubungkan hasil pengamatan,
• Keterampilan menemukan suatu pola dalam seri pengamatan, dan keterampilan dalam mencari kesimpulan hasil pengamatan,
• Keterampilan dalam meramalkan apa yang akan terjadi berdasarkan hasil-hasil pengamatan, dan
• Keterampilan menggunakan alat/bahan dan mengapa alat/bahan itu digunakan.
• Selain itu adalah keterampilan dalam menerapkan konsep, baik penerapan konsep dalam situasi baru, menggunakan konsep dalam pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, maupun dalam menyusun hipotesis.

Keterampilan IPA juga menyangkut keterampilan dalam berkomunikasi seperti :
• Keterampilan menyusun laporan secara sistematis,
• Menjelaskan hasil percobaan atau pengamatan,
• Cara mendiskusikan hasil percobaan,
• Cara membaca grafik atau tabel, dan
• Keterampilan mengajukan pertanyaan, baik bertanya apa, mengapa dan bagaimana,

Maupun bertanya untuk meminta penjelasan serta keterampilan mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis. Jika aspek-aspek proses ilmiah tersebut disusun dalam suatu urutan tertentu dan digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi, maka rangkaian proses ilmiah itu menurut Towle menjadi suatu metode ilmiah. Rezba dkk. Mendeskripsikan keterampilan proses IPA yang harus dikembangkan pada diri peserta didik mencakup kemampuan yang paling sederhana yaitu mengamati, mengukur sampai dengan kemampuan tertinggi yaitu kemampuan bereksperimen. Menurut Bryce dkk. keterampilan proses IPA mencakup keterampilan dasar (basic skill) sebagai kemampuan yang terendah, kemudian diikuti dengan keterampilan proses (process skill). Sebagai keterampilan tertinggi adalah keterampilan investigasi (investigation skill).

Keterampilan dasar mencakup:
• Melakukan pengamatan (observational skill),
• Mencatat data (recording skill),
• Melakukan pengukuran (measurement skill),
• Mengimplementasikan prosedur (procedural skill), dan
• Mengikuti instruksi (following instructions).

Keterampilan proses meliputi:
a. Menginferensi (skill of inference) dan
b. Menyeleksi berbagai cara/prosedur (selection of procedures).

Keterampilan investigasi berupa keterampilan merencanakan dan melaksanakan serta melaporkan hasil investigasi. Keterampilan tersebut juga harus didasari oleh sikap ilmiah seperti sikap antusias, ketekunan, kejujuran, dan sebagainya. Mengingat dari perkembangan mental peserta didik SMP/MTs menurut Piaget,Carin dan Sund, sebagian besar pada taraf transisi dari fase konkrit ke fase operasi formal, maka diharapkan sudah mulai dilatih untuk mulai mampu berpikir abstrak. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di SMP terutama di kelas III hendaknya sudah mengenalkan peserta didik kepada kemampuan untuk mulai melakukan investigasi/ penyelidikan walaupun sifatnya masih sangat sederhana.Setidaknya, peserta didik sudah mulai dilatih untuk merencanakan pengamatan/percobaan sederhana, mengidentifikasi variabel, merumuskan hipotesis berdasar pustaka bukan sekedar menurut dugaan yang rasional berdasar logika, mampu melakukan dan melaporkan percobaan/pengamatan baik secara tertulis maupun lisan. Jika hal seperti itu dibiasakan maka hasil belajar yang dapat dicapai benar-benar akan memuat unsur kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk peserta didik sekolah menengah dalam konteks melakukan penyelidikan/investigasi sederhana, peserta didik seharusnya sudah dilatih bagaimana ia harus mengorganisasi data untuk menjawab pertanyaan, atau bagaimana ia dapat mengorganisasi kejadian-kejadian untuk dijadikan alasan pembenar yang paling kuat. Selain itu, proses IPA juga mencakup kemampuan untuk mengkomunikasikan baik secara tertulis berupa pembuatan tulisan/karangan, pemberian label, menggambar, melengkapi peta konsep,mengembangkan/ melengkapi petunjuk kerja, membuat grafik dan mengkomunikasikan secara lisan kepada orang lain.

Menurut DES (Cavendish, at all) proses IPA untuk sekolah menengah sudah berbeda dengan sekolah dasar, yaitu meliputi:
kegiatan melakukan observasi,
• memilih kegiatan observasi yang relevan dengan investigasi/penyelidikannya untuk dipelajari lebih lanjut,
• menemukan dan mengidentifikasi pola-pola baru dan menghubungkannya dengan pola-pola yang sudah ada,
• menyarankan dan menilai penjelasan-penjelasan dari pola-pola yang ada, mendesain dan melaksanakan percobaan, termasuk melakukan berbagai pengukuran untuk menguji pola-pola yang ada, mengkomunikasikan (baik secara verbal, dalam bentuk matematika, atau grafik) dan menginterpretasi tulisan-tulisan dan bahan ajar lainnya,
• memakai peralatan dengan efektif dan hati-hati,
• menggunakan pengetahuan untuk melaksanakan investigasi,
• menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan problem-problem yang berkait dengan teknologi.

Mengingat demikian luasnya kawasan kajian keilmuan IPA berdasar ragam obyek, ragam tingkat organisasi, dan ragam tema persoalannya, maka dalam membelajarkan peserta didik untuk menguasai IPA bukan pada banyaknya konsep yang harus dihafal, tetapi lebih kepada bagaimana agar peserta didik berlatih menemukan konsep-konsep IPA melalui metode ilmiah dan sikap ilmiah, dan peserta didik dapat melakukan kerja ilmiah, termasuk dalam hal meningkatkan kreativitas dan mengapresisasi nilai-nilai.

Karakteristik Peserta Didik

Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasi dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya).
Dalam tahap perkembangannya, peserta didik SMP berada pada tahap periode perkembangan yang sangat pesat, dari segala aspek. Berikut ini disajikan perkembangan yang sangat erat kaitannya dengan pembelajaran, yaitu perkembangan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.
1. Perkembangan Aspek Kognitif
Menurut Piaget, periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia peserta didik SMP, merupakan ‘period of formal operation’. Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual. Peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran IPA bahwa belajar akan bermakna kalau input (materi pelajaran) sesuai dengan minat dan bakat peserta didik . Pembelajaran IPA akan berhasil kalau penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan serta karakteristik peserta didik sehingga motivasi belajar mereka berada pada tingkat maksimal. Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu:
1. Kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional),
2. Kecerdasan logis-matematis (kemampuan berfikir runtut),
3. kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama),
4. Kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mental tentang realitas),
5. Kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus),
6. Kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan rasa jati diri),
7. Kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain).

Di antara ketujuh macam kecerdasan ini sesuai dengan karakteristik keilmuan IPA akan dapat berkembang pesat dan bila dapat dimanfaatkan oleh guru IPA untuk berlatih mengeksplorasi gejala alam, baik gejala kebendaan maupun gejala kejadian/peristiwa guna membangun konsep IPA.

2. Perkembangan Aspek Psikomotor

Aspek psikomotor merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru. Perkembangan aspek psikomotor juga melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain.

a. Tahap Kognitif
Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berpikir sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.

b. Tahap Asosiatif
Pada tahap ini, seorang peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakannya. Dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotor. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang sifatnya otomatis. Pada tahap ini, seorang peserta didik masih menggunakan pikirannya untuk melakukan suatu gerakan tetapi waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Dan karena waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih pendek, gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku.

c. Tahap Otonomi
Pada tahap ini, seorang peserta didik telah mencapai tingkat autonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap autonomi karena peserta didik sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakangerakan telah dilakukan secara spontan dan oleh karenanya gerakan-gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajar untuk memikirkan.


3. Perkembangan Aspek Afektif
Keberhasilan proses pembelajaran IPA juga ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan aspek afektif peserta didik . Ranah afektif tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom memberikan definisi tentang ranah afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang implikasinya dalam peserta didik SMP lebih kurang sebagai berikut:

• Sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar
• Responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka bisa menilai
• Sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada
• Sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai.

Pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan direspon, dan apa yang diyakini dan diapresiasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam teori pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing. Faktor pribadi yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam penguasaan berbagai materi pembelajaran, yang meliputi:

• Self-esteem, yaitu penghargaan yang diberikan seseorang kepada dirinya sendiri.
• Inhibition, yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
• Anxiety (kecemasan), yang meliputi rasa frustrasi, khawatir, tegang, dan sebagainya.
• Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
• Risk-taking, yaitu keberanian mengambil risiko.
• Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan oranglain.

Dengan demikian, selain harus mempertimbangkan miskonsepsi yang dimiliki oleh setiap siswa sebelum mendapatkan pembelajaran, guru juga harus mempertimbangkan penalaran formal yamg berbeda-beda yang dimilki oleh siswa. Hal ini dapat dilaksanakan dengan baik bila informasi tentang penalaran formal siswa sudah dimiliki oleh guru. Piaget menyatakan bahwa anak-anak dianggap siap mengmbangkan konsep khusus jika memperoleh skemata yang diperlukan.
C. Keterkaitan Mipa Dalam Tekhnologi Dan Masyarakat

Tanpa mengesampingkan ilmu pengetahuan sosial, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) merupakan basis bagi pengembangan tekhnologi dan industri. Oleh karena itu pendidikan yang globally competitive tentunya berlandaskan pada konsep broad based dalam pengertian sebagaimana telah diungkapkan di atas sehingga selain mempunyai keterampilan bekerja (siap kerja) lulusan peserta didik akan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengembangkan karir akademiknya. Matematika adalah ilmu yang mempelajari logika dari kuantitas, bentuk dan susunan (pola). Ilmu matematika dapat dikelompokkan atas empat kelompok bidang fundamental yang saling terkait, yaitu aljabar, foundation of mathematics (logika), analisis, dan geometri. Di luar itu terdapat bidang statistic (dan peluang) yang memiliki banyak aplikasi di berbagai cabang ilmu. Matematika seringkali dipandang sebagai bahasa ilmu pengetahuan/sains (khususnya sains alam), yaitu pengetahuan manusia tentang perilaku alam. Perilaku umum tersebut diungkapkan dalam sains sebagai hukum-hukum dasar sains. Ada sejumlah karakteristik umum yang dijumpai, baik pada alam hayati maupun non-hayati, yaitu universalitas, keberagaman, evolusi/perubahan terhadap waktu, keberlangsungan, dan interaksi.

Beberapa Konsep Teknologi

• Model adalah suatu penggambaran, suatu permasalahan secara kuantitatif, seringkali dalam bentuk matemetika.
• Kriteria adalah tujuan atau sasaran dalam pengambilan keputusan. Dalam suatu desain, kita mempunyai sasaran-sasaran, yang merupakan tujuan pokok dari desain tersebut.
• Pembatasan adalah factor-faktor yang harus diperhitungkan dalam desain atau pengambilan keputusan tersebut.
• Optimasi adalah pencarian solusi (penyelesaian) yang paling baik atau optimum, setelah permasalahan dirumuskan dalam bentuk model dengan memperhatikan sasaran dan memperhitungkan pembatasan-pembatasannya.

Konsep-konsep IPA yang Mendukung Perkembangan Teknologi
Beberapa konsep IPA yang sangat penting dalam mendorong kemajuan IPA dan teknologi, antara lain: 1) Metode ilmiah dan 2) Definisi operasional
Norman Campell mengemukakan bahwa IPA terdiri dari dua aspek yang tidak dapat dipisahkan, bagai mata uang dengan kedua sisinya:
- “Practical Science” merupakan IPA yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat melalui teknologi.
- “ Pure Science” merupakan IPA yang tidak bermanfaat langsung bagi kehidupan, tetapi mengndung nilai intelektual.
Apa yang secara langsung kita pelajari dari IPA adalah Aspek “Pure sience” tersebut dikenal dengan “ilmu dasar” kita kenal ilmu terapan ( applied Science).
Tujuan kegiatan keilmuan dalam ilmu terapan bukannya demi kemajuan ilmu itu sendiri melainkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia. Jadi berbeda dengan ilmu dasar yang tujuannya ialah untuk mengetahui lebih banyak dan memahami lebih mendalam tentang alam dan segenap isinya.
Hasil-hasil yang telah dicapai ilmu dasar menawarkan kepada kita sederatan/ pilihan. Tugas ilmu terapan untuk memilih dari antara alternative-alternative ini yang mana yang bisa dipakai untuk memecahkan persoalan praktis dalam masyarakat. Hasil-hasil kegiatan ilmu terapan itu masih harus dialih ragamkan (ditransformasikan) menjadi bahan atau peranti, prosedur, atau tekhnik pelaksanaan sesuatu proses pengolahan atau produksi. Transformasi ini biasanya disebut kegiatan pengembangan (development). Didalamnya termasuk perancangan industri (industrial design), yakni: mencari jalan pintas yang paling efisien dan paling murah serta paling aman untuk melaksanakan produksi massal dari produk (bahan peranti) yang prototipenya merupakan hasil-hasil kegiatan ilmu terapan.
Tindak lanjut dari hasil kegiatan pengembangan adalah teknologi. Jadi teknologi bisa dipandang sebagai penerapan ilmu. Kemana arah dan terhadap apa atau siapa penerapan iti dikenakan, amat tergantung pada kepentingan si penguasa teknologi itu dan nilai-nilai moral ethiknya.
Teknologi berasal dari kata’’ Techne’’ yang berarti seni atau keahlian atau ketrampilan. Pengertian sekarang, tecknologi merupakan cara manusia membuat atau melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya dengan mudah denagan efisien. Oleh karena itu teknologi harus dipelajari baik dalam bentuk ketrampilan maupun dalam bentuk aplikasi IPA
Jika teknologi itu diabaikan bagi kesejahtraan umat manusia dan terciptanya masyarakat yang adil, partisipatif dan lestari, teknologi itu amat tinggi nilai manfaatnya. Dalam artian ini ilmu melahirkan teknologi, jelas sangat dibutuhkan manusia untuk mengatasi masalah (berbagai masalah), seperti:
• -Masalah pangan
• -Masalah energi
• -Masalah kesehatan
• -Masalah transportasi
• -Masalah komunikasi
• -Masalah sandang
Penolakan ilmu, seperti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat manusia. Sebaliknya ditangan binatang ekonomi yang rakus dan tak segan-segan mengeksploitasi sesama manusia, atau dalam penguasaan kaum militer yang gila perang, ilmu dan teknologi merupakan ancaman yang amat menakutkan. Seperti yang dikemukakan oleh Francis Bacon, “ ilmu adalah kekuasaan”. Dan kalau ilmu adalah kekuasaan, maka teknologi itu adalah atas manusia, atas kebudayaan danm atas alam.

D. Permasalahan Pendidikan MIPA

Penguasaan Iptek merupakan kunci penting dalam abad 21 ini. Oleh karena itu, peserta didik perlu dipersiapkan untuk mengenal, memahami, dan menguasai Iptek dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Upaya untuk mempersiapkan hal itu memang sudah dilakukan melalui pendidikan formal, sesuai dengan Undang-undang No. 2 tahun 1989.

Pengantar Sains dan Teknologi pun sudah diajarkan sejak pendidikan dasar. Persiapan sedini mungkin sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dimasa depan yang secara kualitatif cenderung meningkat. Berbagai tantangan muncul, antara lain menyangkut peningkatan kualitas hidup, pemerataan hasil pembangunan, partisipasi masyarakat, dan kemampuan untuk mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan IPA sebagai bagian dari pendidikan umumnya memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan, khususnya di dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu berfikir kritis, kreatif, logis dan berinisiatif dalam menanggapi isu dimasyarakat yang diakibatkan oleh dampak perkembangan IPA dan tekhnologi.

Dewasa ini, pembelajaran IPA masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan kegiatannya lebih berpusat pada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting. Guru menjelaskan IPA hanya sebatas produk dan sedikit proses. Salah satu penyebabnya adalah padatnya materi yang harus dibahas dan diselesaikan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Padahal, dalam membahas IPA tidak cukup hanya menekankan pada produk, tetapi yang lebih penting adalah proses untuk membuktikan atau mendapatkan suatu teori atau hukum. Oleh karena itu, alat peraga/praktikum sebagai alat media pendidikan untuk menjelaskan. IPA sangat diperlukan. Pembelajaran IPA dengan menggunakan alat peraga sangat efektif untuk menanamkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai limiah pada siswa serta rasa mencintai dan menghargai kebesaran Tuhan YME. Tujuan IPA secara umum adalah agar siswa memahami konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari,memiliki keterampilan tentang alam sekitar untuk mengembangkan pengetahuan tentang proses alam sekitar, mampu menerapkan berbagai konsep IPA untuk menjelaskan gejala alam dan mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan seharihari. Salah satu cara untuk dapat menciptakan sumber daya manusia berkualitas, guru dalam mengajar dapat menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Dalam hal ini, pendekatan yang paling sesuai dengan perkembangan Iptek adalah pendekatan Sains Teknologi Masyarakat ( STM ), karena pendekatan ini memungkinkan siswa berperan aktif dalam pembelajaran dan dapat menampilkan peranan Sains dan Teknologi didalam kehidupan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan STM dalam pembelajaran IPA, guru dapat memulai dengan isu yang dikemukakan oleh siswa yang ada dimasyarakat.

Dengan menggunakan pendekatan STM dalam pembelajaran IPA siswa tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru saja, karena dalam hal ini guru sebagai motivator dan fasilitator yang mengarahkan siswa agar dapat memberikan saran-saran berdasarkan hasil pengamatannya dimasyarakat. Penguasaan konsep merupakan penguasaan terhadap abstraksi yang memiliki satu kelas atau objek-objek kejadian atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Menurut Piaget pertumbuhan intelektual manusia terjadi karena adanya proses kontinyu yang menunjukkan equilibrium-disequilibrium, sehingga akan tercapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi. Belajar akan menjadi efektif apabila kegiatan belajar sesuai dengan perkembangan intelektual anak. Selain itu, guru di dalam kelas perlu mengenal anak didik dan bakat khusus yang mereka milki agar dapat memberikan pengalaman pendidikan yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa untuk dapat mengembangkan bakat mereka secara optimal sesuai dengan tujuan pendidikan.

Sikap yang terbentuk pada diri siswa terhadap mata pelajaran tentunya tergantung pada sikap gurunya terhadap mata pelajaran itu, dan bagaimana cara guru menyampaikan mata pelajaran itu. Apabila setiap mengajar guru bersikap positif dan baik, maka lambat laun siswa berada dalam kondisi belajar yang berkesan baik dan mendalam, sehingga terbentuk sikap positif terhadap mata pelajaran itu. Jika mata pelajaran tersebut adalah IPA maka akan terbentuklah sikap yang positif terhadap IPA.

Karena belajar bukan sekedar untuk memahami tentang sesuatu fakta tertentu melainkan bagaimana menginteprestasikan fakta-fakta tersebut kedalam konteks kehidupan pribadi. Seperti yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :

1. Suharsimi Arikunto, bahwa sebenarnya sikap merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar.
2. Menurut Wynne Harlen dalam Hendro Darmodjo dan Yenny Kaligis, ada 9 aspek sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada anak usia SD yaitu
• Sikap ingin tahu (curiousity);
• Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
• Sikap kerja sama (cooperation),
• Sikap tidak putus asa (perseverense),
• Sikap tidak berprasangka (open mendidness),
• Sikap mawas diri (self criticism),
• Sikap bertanggung jawab (responsibility),
• Sikap berpikir bebas (independence in thinking), dan
• Sikap kedisiplinan diri (self discipline)

Pendidikan sains dengan menggunakan pendekatan STM adalah suatu bentuk pengajaran yang tidak hanya menekankan pada penguasaan konsep-konsep sains saja tetapi juga menekankan pada peran sains dan teknologi di dalam berbagai kehidupan masyarakat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial terhadap dampak sains dan teknologi yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini, Hidayat dan Poedjiadi berpendapat sama bahwa belajar IPA melalui isu-isu sosial di masyarakat yang ada kaitannya dengan IPA dan Teknologi dirasakan lebih dekat, dan belajar IPA melalui isu-isu sosial di masyarkat yang ada kaitannya dengan IPA dan teknologi dirasakan lebih punya arti bila dibandingkan dengan konsepkonsep dan teori IPA itu sendiri.
Pembelajaran dengan menggunakan pedekatan STM memiliki ciri yang paling utama, yang dilakukan dengan memunculkan isu sosial di awal pembelajaran dan guru sebelumnya sudah memiliki isu yang sesuai dengan konsep yang akan diajarkan. Adalah suatu kekeliruan apabila seorang guru mengajarkan IPA dengan cara mentransfer saja apa–apa yang disebut di dalam buku teks kepada anak-anak didiknya. Hal ini disebabkan apa yang tersurat di dalam buku teks itu baru merupakan satu sisi atau satu dimensi saja dari IPA yaitu dimensi produk. Dengan mengikuti kegiatan ilmiah yang dilakukan dalam pembelajaran dengan pendekatan STM, siswa menyadari adanya suatu masalah dan mempunyai keinginan untuk memecahkan masalah, serta kemudian menyimpulkan fakta-fakta yang ada hubungannya dengan masalah dalam pendekatan STM di dalam semua kegiatan perlu dilakukan aktivitas yang optimal dari semua siswa.

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM dapat meningkatkan sikap siswa yang semula kurang baik menjadi lebih baik dan dapat meningkatkan kepedulian siswa terhadap kegiatan masyarakat sehari-hari seperti: (a) Tukang minuman yang sedang membuka tutup botol, (b) Ayah yang sedang mencabut paku di dinding, (c) Tukang minyak tanah yang sedang memindahkan drum besar dari bawah ka atas truk, dan (d) Paman yang sedang memindahkan lemari yang besar dari ruang tamu ke dalam kamar..












































BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN


• Pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam.

• Pembelajaran IPA masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan kegiatannya lebih berpusat pada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting

• Pembelajaran MIPA berdasarkan budaya adalah multiple representations yang berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam tekhnik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan keberhasilannya dalam berbagai bentuk.

• Pendidikan MIPA sangat berperan dalam kehidupan kita sehari hari, baik itu dalam bidang tekhnologi maupun pada bidang yang lainnya



Makalah
Dasar-Dasar Pendidikan MIPA




Oleh
Kelompok 4
Nurlamu Tualeka
Ilham S. Launur
Amsia Nukuhehe
Surina Umaternate
Tina Nursadi








Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ambon
2011

NUSA EMASU

KeNaL! diRi_Q

aku jiwa yang setengah mati
terkubur oleh ego pribadi
kini ku yang tersisah hanyalah mati........